
MEDAN | kliksumut.com – Demonstrasi mahasiswa Mei 1998 identik dengan gerakan reformasi dengan simbol utama runtuhnya kekuasan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun. Mengulas apa yang sebenarnya terjadi pada Mei 1998 hingga menjelang Soeharto lengser 20 Mei 1998 selalu menarik di ikuti.
Dibalik unjuk rasa besar mahasiswa pada Mei 1998 di Kota Medan ternyata sejumlah aktivis mahasiswa memang sudah mempersiapkan diri memimpin unjuk rasa menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Salah satunya Sahat Simatupang, mahasiswa Teknik Geologi Institut Teknologi Medan (ITM) angkatan 1993.
Tuntutan reformasi bergema lebih awal di Medan, Sumatera utara, di banding daerah-daerah lain di Indonesia. Senin siang, 27 April 1998, persis di depan Kampus ITM, Jalan Gedung Arca, bentrok mahasiswa ITM dan polisi pecah. Aksi mahasiswa dengan jas almamater berwarna cokelat, jas kebanggaan mahasiswa ITM, menuntut reformasi pemerintahan dihadang ratusan tentara dan polisi.
Mahasiswa ITM diblokade ketika hendak unjuk rasa ke luar kampus. Satu tembakan dari rentetan peluru tentara dan polisi mengenai dada mahasiswa ITM bernama Ronaldson. Ronaldson roboh bersimbah darah.
Saat itu aksi mahasiswa ITM kocar-kacir karena tembakan dan lontaran gas air mata secara membabi buta ke dalam kampus ITM.
Aksi mahasiswa ITM dipimpin Sahat Simatupang bersama beberapa orang aktivis Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima). Sahat menggalang demonstrasi anti Orde Baru (Orba) di Kampus ITM lewat mimbar bebas sejak Maret 1998.

“Saat awal menggalang unjuk rasa anti Orba dan turunkan Soeharto hanya diikuti puluhan mahasiswa ITM karena takut ditangkap intel,” kata Sahat kepada kliksumut.com dalam wawancara kilas balik demonstrasi 98 di Medan, Selasa 19 Mei 2020.
Berhari – hari Sahat dan kawan – kawannya sesama aktivis menggalang mimbar bebas. Dari puluhan mahasiswa hingga menjelma menjadi ratusan dan ribuan mahasiswa ikut dalam mimbar bebas. Sahat juga mengundang tokoh Marhaen Sumut bernama Syamsul Hilal ber-orasi di-dalam Kampus ITM.
“Saat itu saya dituduh rektor ITM Syahrum Razali membuat onar karena mengundang yang bukan mahasiswa ber – orasi didalam kampus. Syamsul Hilal mengajak seorang nelayan asal Deli Serdang yang mengaku baru mengalami penyiksaan oleh tentara,” ujar Sahat.
“Karena testimoni nelayan yang kami panggil Uncu tersebut, emosi mahasiswa jadi ‘mendidih’. Saya gak nyangka setelah orasi Uncu pada Jumat, 24 April 1998, Senin siang, 27 April 1998 saat membuka mimbar bebas, ribuan mahasiswa ITM tumpah ruah dengan tuntutan reformasi pemerintahan. Dalam hati saya bersorak bahagia,” ujar Sahat.
Namun saat Sahat sedang orasi dan mengajak mahasiswa ITM unjuk rasa keluar kampus menuju Taman Makam Pahlawan Jalan Sisingamangaraja Medan, rentetan tembakan senjata polisi dan tentara mengenai dada mahasiswa ITM bernama Ronaldson.
“Dia tertembak sekitar 5 meter dari tempat saya orasi. Saya sempat membopongnya ke mobil dosen Teknik Pertambangan ITM bernama Mardani Ginting Manik yang melarikan Ronaldson ke rumah sakit,” ujar Sahat.
Darimana keberanian Sahat melawan pemerintahan Orba dan Soeharto ? Dalam ‘catatan pergerakan bawah tanah’, Forsolima tempat Sahat menempa diri, adalah organisasi ekstra kampus yang rajin mengorganisir petani dan buruh untuk menuntut hak normatifnya dan melawan pemerintah Orba di era 90 – an.
Bersama sebuah lembaga non pemerintah (LSM) Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra), aktivis Forsolima membangun kesadaran petani menuntut hak atas keadilan agraria (tanah).
Forsolima menjadi organisasi mahasiswa yang paling diincar intelijen saat itu. Namun diam – diam beberapa aktivis Forsolima tanpa sepengetahuan pengurus Bitra membangun jaringan politik nasional ke beberapa organisasi yang berkiblat ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan juga membangun jaringan ke Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas, serta jaringan Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) yang berhaluan Sosdem.
Tertembaknya Ronaldson, ujar Sahat adalah titik awal keberanian mahasiswa Medan aksi keluar kampus dan menyebar hingga ke kampus di Pulau Jawa. Aksi 98 semakin membesar di Medan setelah Ronaldson tertembak. Aksi membara dan dimulai dari depan Kampus ITM. Mahasiwa dari enam kampus di Medan, yakni ITM, AMIK Kesatria, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P), Universitas Muhammadiyah Sumut, Universitas Katolik Santo Thomas, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan, bergabung. “Tuntutan kami hanya satu turunkan Soeharto,” ujar Sahat.

Ternyata tuntutan itu dianggap terlalu politis. Bahkan Rektor ITM Syahrum Razali melarang mahasiswa ITM unjuk rasa. Namun Sahat dan rekan-rekannya tidak surut. Mereka mencium aroma rezim Orba yang penuh korupsi akan segera tumbang.
“Saya dan beberapa mahasiswa ITM terus menggalang kekuatan. Kami bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah rumah sederhana yang dihuni penjaga lahan milik mantan Wali Kota Medan Bachtiar Djafar di Jalan Eka Warni Medan Johor dan dirumah Ade Irawan Sinik keluarga pemilik Harian Medan Pos di Jalan Laksana Medan,” kata Sahat.
Rekan seperjuangan Sahat di ITM yang juga aktivis Forsolima antara lain Tongam Siregar (Alm), Ihutan Pane, Syahrul Isman, Romy Prapanca, Ade Irawan Sinik, Syukur Alfajar dan lain – lain. Mereka selalu berbagi tugas menggalang mahasiswa, mencetak selebaran dan spanduk serta mencari makanan ringan dan air minum untuk unjuk rasa berikutnya.
“Kami juga dibantu dosen ITM bernama Timbul Manurung dan aktivis HKBP pendukung SAE Nabanan yang menyiapkan dapur umum logistik karena setiap malam setelah peristiwa penembakan Ronaldson, Kampus ITM kami jaga,” kata Sahat.
Gerakan mahasiswa semakin massif. Berselang dua hari setelah penebakan Ronaldson, ribuan mahasiswa dari sejumlah kampus turun ke jalan membawa poster bertuliskan “Laksanakan Sidang Istimewa, Soeharto Mundur.”
Mahasiswa berusaha kembali long march dari depan Kampus ITM menuju Taman Makam Pahlawan Medan. Bentrok kembali terjadi persis di persimpangan Jalan Gedung Arca – HM. Joni.
“Saat itu saya dihajar anggota TNI karena mencoba menerobos blokade TNI. Beruntung saya diselamatkan fotograper Harian Waspada yang belakangan saya tahu bernama Faisal,” kenang Sahat.
Awal pekan, 4 Mei 1998, ribuan mahasiswa Medan berdemonstrasi di dalam kampus masing – masing. Situasi semakin panas. TNI mulai berpatroli dengan tank dan panser di dalam kota di Medan. Paling tidak sekitar 5.000 mahasiwa gabungan terlibat dalam aksi 4 Mei tersebut. Sahat memimpin mahasiwa ITM. Mereka menyanyikan lagu-lagu nasional. Selang beberapa saat, mereka mencoba berdemonstrasi ke luar dari kampus dan menerobos pasukan keamanan yang berjaga di luar kampus. Mereka berpawai di sekitaran kampus.
Polisi melihat aksi itu berpotensi menimbulkan kerusuhan. Polisi kemudian menghentikan mereka. Kontak fisik pun kembali terjadi. Mahasiswa kemudian melempari petugas dengan batu, memanah dengan ketapel, dan melempar bom molotov. Petugas membalas aksi tersebut.
Mahasiswa juga membakar ban dan tumpukan kayu di badan jalan untuk menghalangi pasukan anti huru-hara mendekat. Melihat pasukan anti huru-hara bertambah banyak, mahasiswa ITM masuk ke dalam kampus dan menutup pintu pagar. Selanjutnya mereka melempari petugas dengan batu dari dalam kampus. Lokasi Kampus ITM yang berdekatan dengan Markas Polsek Medan Teladan (Medan Kota) memicu bentrok berlanjut hingga larut malam.
Berhari-hari aksi mahasiswa di Medan akhirnya meluas menjadi kerusuhan massal di Jalan Sutrisno/Antara, Aksara Plaza, Jalan Brigjen Katamso lalu ke Jalan Djuanda, Ahmad Dahlan, Jalan Imam Bonjol. Simpang Limun dan lain -lain.
“Saya lari dari kejaran intelijen Kodam I/BB ke arah perumahan Cemara Asri dan diselamatkan kakak senior saya mahasiswa Teknik Geologi bernama Binsar Pakpahan,” kata Sahat.
Saat itu Sahat baru selesai menandatangani kuasa hukum dan menyerahkan sejumlah bukti pecahan granat gas air mata dan selongsong peluruh yang ditembakkan ke dalam kampus ITM kepada Direktur LBH Medan Kusbianto disaksikan sejumlah wartawan.
“Salah satunya adalah jurnalis Majalah Tempo Bambang Soedjiarto yang akhirnya jadi senior saya di Tempo,” ungkap Sahat.
Puncak aksi Mei 98 di Medan saat ribuan mahasiwa mengepung Gedung DPRD Sumut Selasa, 19 Mei dan Rabu, 20 Mei 1998. Sahat mewakili mahasiswa ITM menutup orasi. Namun bentrok tak terelakkan usai unjuk rasa saat mahasiswa ITM kembali ke kampus.
“Massa yang saya pimpin dihadang polisi di Jalan Perdana Medan. Kami melempari polisi dengan batu seadanya,” kata Sahat.
Karena situasi Kota Medan yang memanas pada 20 Mei 1998, Sahat ‘diungsikan” ke sebuah hotel kelas melati di Jalan Gajah Mada Medan. Hingga tengah malam Rabu 20 Mei 1998, Sahat dan beberapa rekannya sembunyi di Hotel Transit membaur bersama tamu hotel yang mayoritas warga Aceh.
“Saya tidak di-izinkan kembali ke kampus karena kampus dikepung polisi dan tentara. Esok paginya, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, kami mendengar kabar Soeharto mengundurkan diri. Andai Soeharto bertahan, kami pasti mati,” kata Sahat.
Namun perdebatan sengit di kalangan aktivis kadang tak terelakkan. Setelah kejatuhan Soeharto, sahabatya Pius Lustrilanang mendirikan organisasi Brigade Siaga Satu (Brigass), Sahat ditunjuk membentuk Brigass di Medan.
“Saya diprotes kawan-kawan dan sempat dimusuhi karena Brigass dianggap organisasi semi militer (milisi). Saya kemudian mundur dari Brigass apalagi Pius malah bergabung dengan Prabowo Subianto,” kata Sahat.
Takdir sebagai aktivis kadang tak tertebak. Setelah malang melintang menggalang kekuatan rakyat dari satu kota ke kota lain di Indonesia, Tahun 2005 Sahat bergabung dan menjadi jurnalis muda di Tempo. Sambil terus menggalang kekuatan rakyat, Sahat mengasah keterampilan dan idealisme jurnalis.
“Saya banyak belajar dari jurnalis senior Harian Indonesia Raya dan Kompas Jus Soemadipraja. Kebetulan saya dan Bang Jus sama-sama satu barisan dengan Sri Bintang Pamungkas. Saya sering mampir ke rumah Jus Soemadipraja di Depok, Jawa Barat. Lewat rekomendasi Jus Soemadipraja saya diterima di Tempo,” kata Sahat.
Saat Pilpres 2014, Sahat aktif menggalang jaringan aktivis 98 mendukung Joko Widodo. Dia mendeklarasikan relawan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) di Taman Ismail Marzuki Jakarta bersama sejumlah aktivis Aldera dan Forum Mahasiswa Jombang. Tugas Sahat memenangkan Jokowi -Jusuf Kalla di Sumut bersama tim kampanye yang dipimpin Budiman Nadapdap dan politisi senior PDI Perjuangan Panda Nababan. Hasilnya Jokowi – Jusuf Kalla menang di Sumut.
Berbeda dengan Pilpres 2014, di Pilpres 2019, Sahat bersama rekan – rekannya aktivis 98 ITM dan sahabatnya jurnalis Alian Napiah Siregar membentuk Relawan Indonesia Kerja (RIK). Targetnya memenangkan Jokowi – Ma’ruf Amin di Sumut dan beberapa provinsi di Pulau Sumatera yang dianggap lemah seperti Aceh, Sumbar dan Kepri serta Provinsi Bangka Belitung.

Di Pilpres 2019, Sahat berada dalam struktur Tim Kampanye Daerah (TKD) 01 Sumut sebagai Wakil Direktur Relawan. Sahat rela mundur sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sumut PT Dhirga Surya karena berada dalam struktur tim kampanye. Meski harus kehilangan jabatan bergengsi sebagai Komisaris BUMD, namun Sahat tak menyesal.
“Saya mendukung Jokowi karena percaya dia orang baik. Meski mendukungnya, kami akan tetap mengkritik jika melenceng. Jokowi juga harus menuntaskan secara hukum peristiwa kerusuhan bernuansa SARA pada Mei 1998,” ujar Sahat.
* Penulis : Alian Napiah Siregar ‘ Kilas Balik Demonstrasi Mei 98 di Medan ‘ seperti disampaikan Sahat Simatupang.