Garap Hutan Suaka Margasatwa di Sumut, Jaksa dan Hakim Tidak Tahan Terdakwa

Garap Hutan Suaka Margasatwa di Sumut, Jaksa dan Hakim Tidak Tahan Terdakwa
Terdakwa Alexander Halim alias Akuang (kemeja putih) agenda sidang lanjutan di Pengadilan Negri Medan. (Foto. kliksumut.com/dody)

REPORTER: Dody Ariandi

KLIKSUMUT.COM | MEDAN – Sidang lanjutan kasus pengalihan fungsi kawasan hutan suaka margasatwa di Sumatera Utara kembali digelar di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (6/2/2025). Dalam kasus ini, terdakwa Alexander Halim alias Akuang (74) dan mantan Kepala Desa Tapak Kuda, Imran S.Pdi (41), diduga terlibat dalam korupsi yang menyebabkan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan sawit seluas 105,982 hektare dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM).

Diketahui, SHM tersebut atas nama Alexander Halim, istrinya Lie Siew Kin, dan anggota keluarganya. Perubahan status ini diduga bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.44/Kpts-11/2005 yang menetapkan kawasan tersebut sebagai suaka margasatwa sejak 1942.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Diduga Dapat Perlakuan Khusus, 2 Terdakwa Alih Fungsi Lahan di Langkat Belum Ditahan

Jaksa Hadirkan Saksi Kunci

Sidang kali ini menghadirkan enam saksi, termasuk mantan Kepala Kantor BPN Langkat, Saut Tampubolon, serta notaris Wenny Adytia K., SH, SpN. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Langkat menggali informasi seputar legalitas sertifikat yang diterbitkan dan pengalihan hak atas tanah tersebut.

Saut Tampubolon menjelaskan konsep “tanah pasimpai,” yaitu tanah yang diberikan untuk kepentingan sementara, seperti kegiatan ekonomi, tanpa hak kepemilikan penuh. Namun, dalam kasus ini, sertifikat tanah yang berada di kawasan hutan lindung justru beralih menjadi milik pribadi.

“Proses balik nama sertifikat harus melalui tahapan administrasi resmi, termasuk cek bersih. Namun, dalam kasus ini, terdapat kejanggalan karena beberapa sertifikat bermasalah tetap diterbitkan,” ujar Saut.

52 Sertifikat Bermasalah

Notaris Wenny Adytia mengakui bahwa ia terlibat dalam pengurusan 52 dari 60 sertifikat yang menjadi polemik. Menurutnya, proses pengalihan dilakukan berdasarkan Akte Jual Beli (AJB) dengan syarat dokumen kependudukan seperti KTP dan Pajak Bumi Bangunan (PBB).

Namun, Jaksa menduga ada kolusi antara terdakwa Alexander Halim dan pihak terkait untuk memuluskan penerbitan sertifikat di kawasan hutan lindung. “Terdakwa menyampaikan kepada notaris agar tidak khawatir dan proses tetap dilanjutkan,” ungkap Jaksa dalam sidang.

BACA JUGA: Eksekusi Bangunan dan Lahan Berakhir Ricuh, Mobil Pemadam Kebakaran Terbakar

Kerugian Negara Capai Rp 787 Miliar

Jaksa menyebutkan bahwa tindakan terdakwa menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 787 miliar. Dalam persidangan sebelumnya, saksi lain juga mengungkap adanya 22 sertifikat bermasalah di kawasan hutan Tapak Kuda dan Pematang Cengal.

Meskipun banyak fakta yang menguatkan dugaan tindak pidana, Jaksa dan Hakim PN Medan hingga saat ini belum memutuskan untuk menahan kedua terdakwa. Hal ini memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat terkait keberlanjutan proses hukum kasus yang merugikan lingkungan dan negara ini.

Sidang akan kembali dilanjutkan pada 10 Februari 2025 mendatang untuk mendengarkan keterangan saksi tambahan dan pengembangan bukti lainnya. (KSC)

Pos terkait