Fordek FH dan STIH PTM se-Indonesia Setuju Pembongkaran Pagar Laut

Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia Setuju Pembongkaran Pagar Laut
etua Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia, Dr Faisal SH MHum

EDITOR: Bambang Nazaruddin

KLIKSUMUT.COM | MEDAN – Forum Dekan Fakultas Hukum (Fordek FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia angkat bicara terkait dengan beredarnya pemberitaan di media massa tentang pemagaran laut kawasan perairan bibir pantai, Hal ini telah menjadi sorotan publik, mengklaim telah memiliki hak karena telah membeli dari masyarakat.

Bacaan Lainnya

Kepada wartawan memalalui siaran pers, Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia menilai, pesisir pantai dan pesisir laut meski terdengar serupa tetapi memiliki definisi yang berbeda.

“Pesisir pantai dan pesisir laut adalah daerah sempadan yang bukan obyek pengaturan UU Pokok Agraria,” ujar Ketua Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia, Dr Faisal SH MHum di Medan, Senin (20/1/2025).

Artinya, lanjut Faisal, tanah di pesisir pantai tidak dapat diberikan sertipikat hak atas tanah, apalagi wilayah laut non darat yang ada di pesisir laut juga tidak boleh diberikan sertifikat. Pesisir pantai merupakan batas antara darat dengan laut, sedangkan pesisir laut adalah batas antara laut dengan darat.

“Sepertinya tidak ada bedanya, sekilas pengertiannya sama, tetapi beda. Secara sederhana, kalau pesisir pantai wilayahnya berupa tanah darat, sedangkan kalau pesisir laut wilayahnya secara visual semuanya (masih) berupa laut, lautan, atau air,” tegasnya.

Menurut Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia, salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tanah di pesisir pantai tidak dapat diberikan sertifikat hak atas tanah. Hal ini merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tidak mengatur pesisir pantai dan pesisir laut sebagai objek pengaturan. Semua bentuk sertifikat hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP), dan Hak Pengelolaan (HPL) hanya dapat diberikan untuk tanah daratan.

“Tidak ada landasan hukum yang memperbolehkan penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut atau pesisir laut. Apabila sertifikat tanah diterbitkan di wilayah tersebut dan ternyata melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, maka sertifikat tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Penataan Ruang,” tegasnya.

BACA JUGA: Fordek FH PTMA dan MHH PP Muhammadiyah Sampaikan Refleksi Tahun 2024 di Indonesia

Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia memaparkan, sebagai daerah yang memiliki ekosistem kompleks dan signifikan bagi kehidupan manusia, pesisir pantai dan pesisir laut dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu aturan utama yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam Pasal 17 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap pemanfaatan wilayah pesisir dan laut wajib mendapatkan Izin Pemanfaatan Ruang Laut (IPRL). IPRL merupakan izin resmi yang harus diperoleh untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut tidak merusak ekosistem dan tetap sesuai dengan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan.

“Jika terjadi pelanggaran, seperti pemagaran wilayah laut yang menghalangi akses nelayan atau merusak fungsi ekosistem tanpa izin, maka tindakan tersebut jelas melanggar peraturan yang berlaku,” tegas Faisal.

Dampak kerusakan ekosistem dan terganggunya keberlanjutan ekonomi nelayan juga berpotensi bertentangan dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Selain itu, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjadi dasar hukum penting dalam melindungi pesisir pantai dan laut. Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap kegiatan yang berpotensi memberikan dampak penting pada lingkungan harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Kegiatan seperti pemagaran laut yang dapat menyebabkan gangguan ekosistem, terganggunya aliran air, rusaknya habitat laut, atau bahkan pencemaran, memerlukan AMDAL sebagai bentuk mitigasi risiko.
Jika pelaku kegiatan melanggar ketentuan ini, sanksi hukum dapat diberlakukan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga memberikan perlindungan khusus kepada nelayan kecil,” ujar Faisal.

Dalam Pasal 7, disebutkan bahwa setiap kegiatan yang merugikan nelayan kecil atau menghalangi akses mereka ke wilayah penangkapan ikan dapat dianggap melanggar hukum. Oleh karena itu, pemagaran wilayah laut yang membatasi akses nelayan tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada.

BACA JUGA: Pernyataan Sikap Fordek FH dan Ketua STIH PTM Se-Indonesia Perihal Polemik Capim KPK: Kembalikan Marwah dan Independensi Lembaga Anti Korupsi Indonesia

Atas dasar itu, Fordek FH dan STIH PTM Se-Indonesia menuntut, pertama, bongkar segera pagar laut yang terindikasi mengamankan proyek oligarki. Kedua, meminta pihak terkait untuk mengusut tuntas dugaan jejaring yang terlibat dalam pembuatan pagar laut

Ketiga, mendorong masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merugikan masyarakat luas dan ekosistem SDA Keempat, mendorong Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia untuk melakukan kajian komprehensif untuk melihat dampak luas dari dibangunnya pagar laut untuk pengamanan PSN

“Pemagaran yang membatasi akses nelayan dapat dipandang sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial nelayan lokal” tegas Faisal. (KSC)

Pos terkait