Haruskah Kita Sekolah Tatap Muka??

“Dia Yang Kering dan Stunting”, Analisis Penyebab Stunting dari Segi Sanitasi
Penulis : Arvinnia Tanida Harefa
“Dia Yang Kering dan Stunting”, Analisis Penyebab Stunting dari Segi Sanitasi
Penulis : Arvinnia Tanida Harefa

kliksumut.com – Akhir-akhir ini sedang ramai wacana dan perbincangan mengenai menghentikan kegiatan “Belajar Dari Rumah” serta menjalankan kegiatan sekolah seperti biasanya. Banyak dari mereka yang menyambut gagasan tersebut dengan bahagia, tetapi banyak juga yang menganjurkan untuk tidak langsung melaksanakan kegiatan belajar di sekolah seperti biasanya.

Salah satu dari mereka yang menganjurkan untuk menunda sekolah tatap muka adalah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pertama, kita harus melek dengan fakta yang ada di depan mata kita dimana angka pasien COVID-19 terus meningkat masih di atas 1.500-an dan sampai sekarang kita tidak tahu kapan angka tersebut akan mencapai angka di bawah 1.000-an orang per harinya.

Bacaan Lainnya

Baca juga : Dua Warga Asahan Naik Status Terkait Virus Covid 19

Kedua, COVID-19 ini memiliki spektrum klinis yang bervariasi, dari tidak memiliki gejala sampai dengan pasien yang mengalami gagal nafas dan membutuhkan pengawasan ketat intensive care unit (ICU). Hal ini menjadikan kita harus waspada kepada siapapun, karena siapapun yang belum terbukti negatif (-) memiliki potensi untuk menularkan penyakit ke kita, bahkan guru, keluarga dan teman-teman dekat. Spektrum gejala COVID-19 yang bervariasi tentunya akan mengecoh kita semua.

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan di setiap tempat umum adalah pemeriksaan suhu tubuh, tetapi gejala COVID-19 sekarang sudah bervariasi. Misalnya, seseorang yang terkena COVID-19 bisa saja tidak mengalami demam, tetapi mengalami gangguan penciuman ataupun gangguan indra pengecap. Adapula pasien COVID-19 yang hanya mengalami gejala pegal-pegal dan flu. Mayoritas kasus bahkan tidak bergejala, tentunya hal ini akan mengecoh kita semua untuk tidak waspada.

Baca juga : Pemuda Garda Terdepan Hadapi Pandemi Covid-19

Ketiga, Indonesia merupakan negara dengan angka case fatality rate (CFR) tertinggi pada anak di Kawasan Asia Pasifik dengan angka 1,1%. Tiongkok, Italia dan Amerika Serikat memiliki <0,1% CFR. Artinya, anak-anak Indonesia akan mengalami gejala yang berat ketika terserang COVID-19. Hal ini juga akan diperparah dengan penyakit yang bisa menyertai COVID-19 seperti diare dan ISPA yang sebelumnya juga telah menyebabkan kematian yang signifikan pada anak-anak di Indonesia. Ketiga hal ini harus kita perhatian sebelum mengambil keputusan untuk menjalankan sekolah online atau sekolah dengan tatap muka langsung. Peningkatan angka kejadian COVID-19 dan spektrum gejala COVID-19 yang bervariasi (dari tidak bergejala atau bergejala flu, bahkan sampai ancaman gagal nafas) akan menyebabkan bermunculan kluster-kluster baru yang ada di sekolah. Anak-anak yang sehat bisa saja datang ke sekolah dan menjaga jarak satu sama lain saat belajar, tetapi apakah ada yang bisa menjamin mereka menjaga jarak saat nongkrong pulang sekolah ataupun di jam istirahat? Kebanyakan kasus menular dikarenakan kurang waspadanya kita kepada orang-orang terdekat kita. Kebanyakan orang merasa aman karena menganggap yang duduk di dekatnya adalah teman/sahabatnya, sehingga kita tidak waspada seperti tidak menggunakan masker, makan bersama, dan tidak menjaga jarak. Anak-anak yang sekolah ini nantinya akan pulang ke rumah, kemudian dapat berisiko menularkan penyakit ke orangtua mereka atau dalam kasus yang ekstrem sampai menularkan ke satu komplek mereka. Bagaimana kalau kita balik kasusnya? Seorang anak yang memang sudah punya penyakit sebelumnya, tetapi tidak bergejala akan menurunkan kewaspadaan dikarenakan anak tersebut tidak bergejala. Hal ini akan membuat kita “tertipu”, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya merasa aman ketika duduk di dekatnya. Saat dia menularkan penyakit ke orang-orang yang ada di sekitarnya, kemudian orang-orang yang ada di sekitarnya juga bisa jadi menularkan penyakit ke orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak-anak sekolah harus sabar dengan kebijakan ini, karena ini semua dilakukan untuk kebaikan semua masyarakat Indonesia. Memang benar kalau pendidikan harus dilakukan langsung, dimana guru mengampu dan berinteraksi dengan muridnya. Kondisi ini dapat menjadi pengecualian, kondisi ini ibaratnya bencana, sehingga semua kalangan sebaiknya memalkumi pembelajaran jarak jauh harus dilakukan sekarang. Ini bukanlah kondisi main-main dan bukan pula kondisi yang dibuat-buat. Baca juga : Satgas Penanganan Covid-19 Sumut Terima Bantuan APD

Orang tua harus lebih sabar dan memaksimalkan waktu bersama dengan anak-anaknya. Kita sabar beberapa waktu lagi untuk keselamatan bersama itu lebih baik daripada rasa jenuh dan bosan mengajarkan anak belajar di rumah.

Orang tua juga harus memberikan dukungan kepada anaknya, pemerintah serta oranganisasi profesi kesehatan untuk menuntaskan pandemi COVID-19 dengan cara memberikan pemahaman kepada anaknya serta berperan sebagai partner guru ketika pembelajaran di rumah dilaksanakan.

Pemerintah harus mengkaji lagi aturan-aturan terkait dengan belajar di sekolah. Jangan terburu-buru mengambil keputusan sebelum berkonsultasi dengan organisasi profesi kesehatan, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat/dinas kesehatan, maupun ahli-ahli di bidang kesehatan. Peran epidemiolog sangat vital dimasa-masa mengambil keputusan, jadikan mereka sebagai “gas” dan “rem” dalam bertindak.

Pemerintah sebaiknya meminta pendapat ahli epidemiologi, kemudian diskusikan dengan organisasi profesi maupun instansi kesehatan lainnya agar keputusan yang didapatkan akan memberikan dampak yang baik untuk kita semua. Pembuatan kurikulum darurat COVID-19 juga perlu dilakukan untuk jangka satu tahun dikarenakan belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya meminta kita untuk waspada akan gelombang kedua pandemi COVID-19, tetapi sayangnya kita belum sampai ke puncak gelombang pertama pandemi ini. Hal ini menjadi rambu-rambu bagi kita untuk menekan semua perilaku yang dapat meningkatkan angka penularan COVID-19, salah satunya adalah menghindari pelaksanaan kegiatan sekolah langsung dengan tatap muka.

Tentunya, kita semua punya keluarga. Kita semua tidak mau jika keluarga kita mengalami hal buruk yang disebabkan oleh COVID-19 ini. Mari kita dukung upaya eradikasi COVID-19 dengan cara melakukan protokol kesehatan COVID-19 seperti tidak keluar rumah jika tidak terlalu penting, menggunakan masker ketika keluar rumah, tidak duduk atau berdiri berdekat-dekatan (jaga jarak), tidak menyentuh area dan tidak makan sebelum mencuci tangan. (**)

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata-Penulisan Karya Pengabdian (KKN-PKP) Kode P028 yang dibimbing oleh Dr. Adi Setiawan, S. T., M. T.

Pos terkait