Dampak Tren Paylater: Antara Kemudahan dan Risiko Utang di Era Digital

Dampak Tren Paylater: Antara Kemudahan dan Risiko Utang di Era Digital
HEADER Riset Mandiri Penggunaan Paylater di Masyarakat. tirto.id/Quita

Oleh: Haura Nindy Jasmine dan Prof. Dr. Elisabet Siahaan, S.E., M.Ec.

KLIKSUMUT COM Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan dalam perilaku konsumsi masyarakat, terutama dengan munculnya layanan paylater. Konsep ini memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian dengan cara mencicil tanpa harus membayar penuh di muka. Masyarakat yang menggunakan layanan paylater di Indonesia telah mengalami lonjakan signifikan, yang mengarah pada perubahan besar dalam perilaku belanja masyarakat.

Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi cara orang berbelanja, namun juga menimbulkan berbagai implikasi bagi perekonomian makro, termasuk potensi risiko utang dan perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Beberapa layanan paylater yang populer di Indonesia saat ini diantaranya Kredivo, Shopee PayLater, OVO PayLater, AdaKami, dan Gopay PayLater.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Utang Warga RI di Pay Later Tembus Triliunan Rupiah, Risiko Gagal Bayar Tinggi?

Salah satu faktor utama yang meningkatkan popularitas layanan paylater adalah kemudahan akses yang ditawarkannya kepada konsumen. Di tengah pesatnya perkembangan belanja online saat ini, banyak orang beralih ke platform digital, dan layanan paylater memberikan solusi bagi mereka yang mungkin tidak memiliki dana tunai saat melakukan pembelian.

Dengan menawarkan opsi pembayaran yang fleksibel, layanan ini mendorong lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital. Menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC), mayoritas atau 69,1% pengguna paylater di Indonesia menggunakan layanan tersebut untuk berbelanja secara online. Produk yang paling banyak dibeli melalui paylater termasuk pulsa dan voucher (25,8%), produk kesehatan dan kecantikan (15,6%), serta fashion dan aksesoris (14%).

Data ini menunjukkan bahwa penggunaan paylater tidak hanya terbatas pada kebutuhan mendesak tetapi juga merambah ke kebutuhan sehari-hari. Kemudahan akses yang ditawarkan oleh layanan paylater mendorong perilaku konsumtif yang lebih tinggi sehingga menciptakan pola belanja impulsif di mana konsumen cenderung membeli barang-barang yang tidak selalu mereka butuhkan.

Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat risiko yang perlu diperhatikan. Ketergantungan pada layanan paylater dapat menyebabkan konsumen terjebak dalam siklus utang yang berisiko. Banyak pengguna yang tidak sepenuhnya memahami syarat dan ketentuan dari layanan ini, termasuk bunga dan denda keterlambatan.

Akibatnya, pengguna sering kali mengalami kesulitan dalam melunasi tagihan, yang pada akhirnya dapat merugikan kesehatan finansial mereka. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa piutang pembiayaan paylater meningkat sebesar 89,2% tahun ke tahun hingga mencapai Rp7,99 triliun pada Agustus 2024. Angka ini membuktikan peningkatan minat masyarakat untuk menggunakan sistem kredit dalam belanja. Namun, peningkatan utang ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi kredit macet di masa depan.

Dari perspektif ekonomi makro, fenomena penggunaan layanan paylater memiliki dampak yang kompleks. Di satu sisi, peningkatan konsumsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Namun, jika tingkat utang masyarakat terus meningkat tanpa adanya pengelolaan yang baik, hal ini dapat menimbulkan masalah serius bagi perekonomian nasional. Ketika konsumen terjebak dalam utang, mereka akan mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Telkomsel dan Kredivo Inisiasi Layanan BNPL Telco ‘Telkomsel PayLater’

Tingginya tingkat utang dapat memicu inflasi jika tidak dikelola dengan baik. Jika banyak konsumen gagal membayar utang mereka, lembaga keuangan dapat menghadapi risiko likuiditas dan solvabilitas. Hal ini bisa memicu krisis keuangan yang lebih luas.

Untuk mengatasi tantangan dan ancaman paylater, ada beberapa solusi yang harus diperhatikan seperti regulasi pemerintah sangat penting dalam mengatur industri fintech dan layanan paylater, terutama dalam menetapkan batasan pinjaman serta syarat-syarat yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan kredit. Selain itu, peningkatan literasi keuangan di kalangan masyarakat juga perlu menjadi prioritas, agar konsumen dapat memahami risiko dan manfaat layanan paylater, serta mengelola keuangan pribadi dengan bijak.

Konsumen harus mampu mengatur anggaran dengan membatasi cicilan bulanan tidak lebih dari 30% dari penghasilan, mengidentifikasi kebutuhan, dan memahami biaya tambahan yang harus dibayar. Dengan pemahaman yang cukup, konsumen dapat membuat keputusan keuangan yang lebih cerdas dan menghindari masalah utang. (**)

(Penulis adalah Mahasiswa Magister Manajemen Properti dan Penilaian SPs USU, dibawah bimbingan Prof. Dr. Elisabet Siahaan, S.E., M.Ec)

Pos terkait