MEDAN | kliksumut.com – Memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap tanggal 10 Desember, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Sumut) melakukan aksi, Jum’at (10/12/2021) di titik nol Kota Medan, Jalan Balai Kota, Medan dan merilis berbagai catatan pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara sepanjang 2021. Data dipaparkan merupakan hasil pemantauan KontraS yang dihimpun dari sejumlah sumber informasi, pemantauan media, pengelolaan informasi dan pengaduan, serta kasus-kasus yang didampingi.
Adapun catatan ini diberikan sebagai upaya mengingatkan, mengevaluasi sekaligus mendorong akuntabilitas Negara dalam mengemban tanggung jawab terhadap HAM. Secara umum kondisi HAM di Sumatera Utara tidak jauh berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Tanggung jawab Negara dalam memenuhi, menghormati, dan melindungi HAM masih jauh dari harapan. Defisit dalam konteks penyelesaian dan surplus dalam hal jumlah pelanggaran. Demikian disampaikan Adinda Zahra, Staff Informasi & Dokumentasi KontraS.
Menurut Adinda, fenomena tersebut dapat dibuktikan dari: Pertama, kasus-kasus klasik seperti konflik agraria dan kekerasan aparat masih mendominasi catatan pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Kedua, akses korban untuk mendapatkan keadilan masih sangat terjal dan berliku. Ketiga, ruang demokrasi dan kebebasan sipil semakin sempit dengan penerapan UU ITE dan dalih pembatasan selama pandemi Covid-19.
BACA JUGA: 80 Kasus Penyiksaan, KontraS Mencatat Setahun Terakhir
Dari sektor agraria KontraS mencatat sepanjang tahun 2021 terjadi 34 titik konflik di Sumatera Utara. Angka tersebut tidak jauh berbeda dari tahun 2020 dan 2019 yang mana terdapat 31.serta 23 titik konflik.
“Angka-angka tersebut menunjukan bahwa upaya penyelesaian konflik agraria di Sumatera utara masih jalan ditempat,” tegas Adinda.
Dilain pihak, BPN dan Pemprov Sumut menegaskan ada lima kasus besar yang akan segera diselesaikan. Kelimanya yakni, Eks HGU PTPN II, HGU No 171/Simalingkar, HGU No 92/Sei Mencirim, Pembangunan Sport Center dan Konflik Tanah Sari Rejo. Namun bagi KontraS, konflik agraria di Sumatera Utara jauh lebih luas dan tidak sesederhana itu.
Persoalan diatas lahan HGU PTPN II saja, menurut Kontras menghadirkan begitu banyak konflik dan saling klaim penguasaan. Sebut saja, HGU No 54,55 di Binjai Timur (Tunggurono), HGU No 113 di Kecamatan Batang Kuis (Bandar Klipa), HGU No 152 di Percut Sei Tuan (Sampali), HGU No 111 di Labuhan Deli (Helvetia) hingga HGU No 5 di Stabat (Kwala Bingei).
“Belum lagi ke depan, areal HGU aktif milik PTPN II tersebut akan digarap menjadi proyek Deli Megapolitan. Potensi Konflik tentu semakin tinggi dan membahayakan,” tambah Adinda.
Secara garis besar KontraS mengkategorikan akar persoalan konflik agraria di Sumatera Utara menjadi lima jenis. Pertama, konflik akibat tumpang tindih HGU. Kedua, Konflik diatas tanah eks HGU, Ketiga, konflik akibat masuknya pembangunan/industri skala besar. Keempat, konflik imbas belum direalisasinya kebun plasma dan Kelima, konflik dikawasan hutan.
“Masing-masing akar persoalan harusnya diselesaikan dengan menggunakan berbagai pendekatan berkeadilan, sehingga tidak lagi jadi penyumbang kasus tiap tahun” Tegasnya.
Sektor lain yang selalu menyumbangkan angka signifikan dalam pelanggaran HAM di Sumut adalah kasus kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan aparat keamanan. Dalam konteks ini, kepolisian masih menjadi aktor utama dalam pelanggaran. Sepanjang tahun 2021, KontraS mencatat kepolisian terlibat dalam 91 kasus dugaan pelanggaran HAM.
Kontras memberikan sorotan khusus terkait penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Terdapat 69 kasus penggunaan senjata api yang mengakibatkan 78 orang terluka dan 11 orang meninggal. Semuanya dilakukan dalam bungkus penegakan hukum dengan dalih tindakan tegas dan terukur.
“Ada begitu banyak kerancuan dalam tafsir tindakan tegas dan terukur. Padahal harusnya bisa diukur melalui prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam PERKAP Nomor 8 Tahun 2009,” ujar Adinda.
Di banyak kasus, proses tembak mati para pelaku kejahatan ini justru dianggap sebagai sebuah prestasi. Padahal jika dikaji lebih jauh, penggunaan kekuatan berlebihan yang mengarah pada praktek extra judicial killing ini tidak berdampak signifikan dalam menurunkan angka kejahatan. Adinda menambahkan, persoalan tahanan mati di kantor polisi turut menyita perhatian publik.
Dari data yang Kontras miliki, terjadi 7 kasus tahanan mati saat berada dalam sel kepolisian. Di tahun lalu, KontraS juga mencatat 12 kasus tahan mati. Penyebab kematian kerap kali menghasilkan silang pendapat. Polisi beralasan sakit sedangkan pihak keluarga menduga terjadi praktek kekerasan.
BACA JUGA: Penangkapan 14 Mahasiswa Aksi Mayday di Kota Medan, KontraS: Polisi Tangkap Dulu, Baru Cari Deliknya
Selain itu, KontraS mencatat 9 kasus dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan TNI. Menariknya, dari mayoritas kasus yang kami himpun, keterlibatan TNI dalam dugaan pelanggaran HAM terkait dengan motif pengamanan. Baik pengamanan atas bisnis illegal maupun dalam konteks pengamanan di arel konflik agraria.
“Kematian Mara Salem, jurnalis yang ditembak oknum TNI dan proses back up saat penggusuran rumah pensiunan PTPN II di Helvetia bisa jadi contoh” tegasnya.
Sebagai organisasi yang concern dalam melakukan kajian dan advokasi isu-isu Penyiksaan, KontraS juga melampirkan data kasus penyiksaan sebagai bentuk maraknya pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Total 11 kasus dugaan penyiksaan terjadi sepanjang 2021 yang mengakibatkan 4 orang meninggal. Angka ini tidak jauh berbeda dari tahun lalu, dimana kontras mencatat 13 kasus dugaan penyiksaan.
“Khusus penyiksaan, dari sisi aktor 7 kasus melibatkan kepolisian sebagai pelaku. 2 kasus melibatkan TNI, sisanya dilakukan sipir lapas dan sesama tahanan” jelas Adinda.
Faktor lain yang dalam pandangan KontraS menyebabkan surplusnya pelanggaran HAM ditenggarai makin sempitnya ruang berekspresi masyarakat sipil. Hal ini bisa dilihat dari semakin biasanya penggunaan UU ITE dalam menjerat mereka yang berbeda pendapat. Pun demikian dalam hal penanganan aksi demonstrasi yang masih menggunakan cara-cara represif. Sempitnya ruang berekspresi itu juga bisa diukur dari kondisi kebebasan pers di Sumatera Utara. Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis menjadi satu fenomena yang marak terjadi.
KontraS mencatat, sepanjang 2021 total 13 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis mengakibatkan 1 orang meninggal dan 1 orang luka berat.
BACA JUGA: Konflik Agraria Menumpuk, KontraS Tagih Janji Gubernur Edy Rahmayadi
“Akar masalahnya berkaitan dengan pemberitaan yang dianggap menyerang pihak pelaku. Sebagai informasi, dari 13 kasus, 2 diantaranya menggunakan jerat Hukum UU ITE sebagai ancaman,” ucap Adinda.
Berbagai persoalan yang KontraS paparkan tidak lain merupakan persoalan-persoalan klasik yang harusnya bisa diminimalisir tiap tahunnya. Tapi pada kenyataan, soal-soal yang sama selalu terulang. Agak aneh melihat seabrek persoalan HAM di Sumatera Utara ini kok tidak menjadi prioritas dan cenderung diabaikan.
“Alhasil, jumlah pelanggaran semakin menumpuk dan upaya penyelesaian tidak pernah jelas,” tutup Adinda. (red)