JAKARTA | kliksumut.com – Elektabilitas Ganjar Pranowo, bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sempat menurun setelah ketua umum partai itu, Megawati Soekarnoputri, menyebut calon presiden yang diusungnya sebagai petugas partai. Namun dalam kuliah kebangsaan di Universitas Indonesia, Ganjar menegaskan seorang pemimpin harus bisa membedakan posisinya ketika menjadi kader politik dan kepala negara atau kepala daerah.
“Jika Bapak terpilih sebagai presiden Indonesia kedelapan, apakah Bapak tetap dengan prinsip tuanku ya rakyat, gubernurnya hanya mandat, dan tidak menjadi boneka Megawati?”
Inilah satu pertanyaan kritis yang diajukan Naufal, mahasiwa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) kepada Ganjar Pranowo, bakal calon presiden dari PDI-Perjuangan, dalam forum tanya jawab seusai kuliah kebangsaan hari Senin (18/9/2023).
BACA JUGA: Survei Indikator: Elektabilitas Prabowo dan Ganjar Bersaing Ketat
Ganjar adalah bakal calon presiden kedua yang memberikan kuliah kebangsaan di kampus jaket kuning itu setelah bulan lalu Anies Baswedan mendapat kesempatan serupa. Anies adalah bakal calon presiden dari koalisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Ganjar: “Apakah Selama Jadi Gubernur Jateng, Saya Mengabdi pada Kepentingan Partai?”
Mendengar pertanyaan Naufal itu, mantan Gubernur Jawa Tengah itu pun mengacungkan jempol kanannya. Dia menegaskan agar tidak perlu takut soal pernyataan tentang “petugas partai” atau tidak. Ia bahkan bertanya balik, apakah selama menjadi gubernur Jawa Tengah selama dua periode, ia mengabdi pada kepentingan partai?.
“Saya kader partai tapi presiden bukan (kader partai), gubernur bukan. Itulah melayani. Jadi kita bisa membedakan, ketika kita sudah berada pada jabatan, apa yang butuh kita lakukan. Makanya kalau Anda riset tentang saya, adakah saya berpihak hanya pada partai saya, mungkin nyaris Anda tidak akan menemukan itu,” katanya.
Tak surut langkah, Naufal kembali bertanya apakah Ganjar bisa disetir ketika menjadi presiden kelak? “Disetir rakyat atau partai,” tanyanya lagi. Ganjar kembali memintanya untuk melihat rekam jejaknya selama memimpin Jawa Tengah sepuluh tahun terakhir ini.
“Sepuluh tahun bukan waktu pendek, dan sepuluh tahun itu artinya saya terpilih dua kali,” ujar Ganjar.
Ganjar Jawab Soal Konflik Agraria, Kecuali Konflik di Desa Wadas
Seorang mahasiswi yang menjadi panelis dalam kuliah kebangsaan itu, Della Azzahra Soepardiyanto, menanyakan kebijakan Ganjar dalam menghadapi konflik agraria. Dia menyebutkan data tahun lalu yang menunjukkan 212 kasus konflik agraria, atau naik lima kasus ketimbang tahun 2021. Meski kenaikannya sedikit, namun luas wilayah konflik meningkat menjadi satu juta hektare.
Menurut Ganjar, data kasusnya bisa jadi lebih dari 212 kasus konflik agraria. Konflik agraria, ujarnya, muncul karena pemerintah sangat jarang melakukan mitigasi dan penghormatan pada warga pemilik lahan; yang sedianya harus diajak terlebih dahulu secara persuasif.
Namun Ganjar tidak sedikit pun menyebut konflik agrarian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang terjadi sejak 2019 dan hingga kini masih terus berlangsung. Ganjar dinilai tidak mampu menyelesaikan kasus yang dipicu oleh penolakan warga desa terhadap rencana pemerintah untuk membuka penambangan terbuka batu andesit, yang akan menjadi bahan baku pembangunan Bendungan Bener.
Dalam pidatonya, Ganjar menegaskan seorang pemimpin harus bersikap optimistis, namun dia mengakui pemimpin juga bukan seorang malaikat yang dapat menyelesaikan semua persoalan secara sempurna.
Pengamat : Ganjar Berhasil Turunkan Sentimen Negatif
Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani, mengatakan pernyataan-pernyataan Ganjar dalam kuliah di FISIP Universitas Indonesia itu sedikit menurunkan sentimen negatif terhadap politikus PDI-Perjuangan itu bahwa dia hanya mewakili kepentingan partai untuk menjadi presiden.
BACA JUGA: Respons Pencapresan Ganjar, Prabowo: Gerindra Calonkan Saya Capres
Dia menilai pernyataan Ganjar itu lebih maju ketimbang Presiden Joko Widodo yang tidak pernah mau membantah dirinya sebagai petugas partai. “Pak Ganjar melakukannya meskipun kepentingannya kepentingan elektoral. Sementara Pak Jokowi seperti tidak butuh lagi keperluan untuk melakukan penjelasan tentang itu. Dua hal yang bisa tercerminkan, pertama soal beliau tidak sekadar petugas partai tetapi juga keberaniannya menjawab itu,” ujar Ray.
Dia menekankan, sesuai AD/ART PDI-Perjuangan, memang benar bahwa semua kader adalah petugas partai, tetapi hal semacam itu tidak bisa “dijual” di tengah masyarakat. Istilah “petugas partai” ini soal komunikasi politik, karena faktanya Ganjar – atau siapa pun kader partai – memang bekerja demi kepentingan partai. Tetapi sedianya pernyataan itu hanya diungkapkan Megawati di kalangan internal, bukan di depan publik.
Ketika mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden PDI-Perjuangan, Megawati menyebut dirinya sebagai “petugas partai,” yang langsung memicu polemik. (VOA)