Surat Tanah Diduga Dipalsukan, Hapsyah Lapor ke Polres Padangsidimpuan

Surat Tanah Diduga Dipalsukan, Hapsyah Lapor ke Polres Padangsidimpuan
Kuasa hukum Muhammad Sulaiman SH didampingi Hapsyah Sri Mei Siregar, memperlihatkan bukti surat Laporan Pengaduan (LP) dari Polres Padangsidimpuan dalam kasus dugaan pemalsuan surat kepemilikan dan penjualan sebidang tanah di Padang Saloka, saat menggelar keterangan Pers di salah satu café di Kota Padangsidimpuan, Sabtu (17/2/2024) pagi. (FOTO: Rahmat Khairul Daulay)

PADANGSIDIMPUAN | kliksumut.com Muhammad Sulaiman SH selaku kuasa hukum Hapsyah Sri Mei Siregar, meminta Polres Padangsidimpuan segera melakukan proses hukum terhadap SH, MH dan HH atas tuduhan melakukan tindak pidana pemalsuan surat kepemilikan sebidang tanah di Padang Saloka.

Harapan tersebut disampaikan Sulaiman kepada awak media saat memberikan keterangan Pers di salah satu café di Kota Padangsidimpuan, Sabtu (17/2/2024) siang.

Bacaan Lainnya

Sulaiman mengatakan, pihaknya telah membuat Laporan Pengaduan (LP) secara resmi ke Polres Padangsidimpuan, Jumat (16/02/2024), karena ketiga terlapor diduga kuat melakukan tindakan melawan hukum hingga merugikan client-nya Hapsyah Sri Mei Siregar.

“Kami melaporkan terkait adanya indikasi dugaan surat palsu yang dilakukan terlapor inisial SH, MH dan inisial HH,” sebut Sulaiman.

Sulaiman menjelaskan, terlapor SH diduga telah mengklaim tanah milik Hapsyah Sri Mei Siregar yang berada di Padang Saloka seluas 3.700 meter menggunakan surat kepemilikan palsu. Selain itu, pihaknya juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam surat tersebut karena tercantum “Surat Penjualan” bukan “Surat Jual Beli”.

Pada keterangan Surat Penjualan” yang dimiliki SH, tertera penjual atas nama Tjio Tjeng Liong, seorang etnis turunan Tionghua. Sementara tahun 1936, Warga Negara Asing (WNA) dan bukan bumi putera, hanya diizinkan menguasai tanah atas Hak Pakai atau Hak Sewa Bangunan, tidak atas Hak Kepemilikan.

“Sehingga, patut kami duga, penjual sebelumnya Tjio Tjeng Liong, tidak memiliki legalitas sebagai penjual di dalam surat “Penjualan” tersebut, dikarenakan Tjio Tjeng Liong tidak dapat memiliki hak atas sebidang tanah pada masa itu,” tambah Sulaiman.

BACA JUGA: Polres Padangsidimpuan Buru Sindikat Pengedar Sabu Jaringan Tersangka LL

Surat Penjualan dan Kwintasi Beda Harga
Sulaiman juga menegaskan, harga jual pada “Surat Penjualan” dengan kwitansi yang diperlihatkan terlapor SH ,terdapat perbedaan nominal harga. Pada “Surat Penjualan” sebidang tanah di Padang Balaka disebutkan seharga F.500 dan juga tercantum tulisan “Lima Ratus Ribu Rupiah”. Sedangkan pada kwitansi tertulis F.25.

“Jadi, kami merasa ada kejanggalan. Apakah huruf “F” itu maksudnya simbol mata uang Foundsterling. Kita ketahui, sebutan mata uang rupiah Indonesia belum ada pada tahun 1936. Uang Rupiah baru ada secara resmi tahun 1946. Sementara mata uang belanda pada tahun 1936 menggunakan Gulden bukan simbol F,” papar Sulaiman.

Gelar Hadji
Selain itu, Sulaiman juga meragukan gelar haji yang disematkan kepada Hadji Asan pada “Surat Penjualan”. Alasannya sederhana, penggunaan gelar “Haji” untuk umat Islam asal Indonesia yang telah melakukan ibadah haji tidak lajim bahkan belum ada beredar ditengah masyarakat pada tahun 1936. Berdasarkan sejumlah referensi dan situs resmi, pemerintah Republik Indonesia memberangkatkan calon jamaah haji ke tanah suci pertama kali pada tahun 1948.

“Kita menduga, surat yang diperlihatkan inisial SH kepada client kita Ibu Hapsyah Sri Mei Siregar adalah surat palsu,” tambah Sulaiman.

Dengan demikian, sebut Sulaiman, sangat beralasan jika Hapsyah Sri Mei Siregar keberatan sekaligus menduga kuat bahwa SH, MH dan HH telah melakukan pemalsuan atas kepemilikan dan penguasaan tanah, karena Hapsyari Sri Mei Siregar memegang Alas Hak Tanah Sah yang asli.

“Pemalsuan surat bertentangan dengan hukum Pasal 263 ayat (1) KUHP, diancam dengan pidana 6 tahun,” sebut Sulaiman.

Untuk itu, Sulaiman meminta Kapolres Padangsidimpuan melakukan pengusutan atas dugaan pemalsuan surat tanah client-nya. Pengusutan itu, sejalan dengan atensi dan instruksi Kapolri terkait pemberantasan mafia tanah.

“Jadi artinya, kami ingin menguji sejauh mana intruksi dari petinggi Mabes Polri mengusut perkara ini sampe ke Polres Padangsidimpuan ditingkatan bawah,” ujar Sulaiman.

BACA JUGA: Polres Tapsel Ringkus Pelaku Cabul Anak Di Bawah Umur

Kepemilikan Tanah Beberapa Kali Pindah Tangan Tanpa Klaim
Awalnya tanah tersebut dikuasai oleh Bongkar Siregar sejak tahun 1965 sampai 2009. Tidak ada klaim dari pihak mana pun selama 44 tahun.

Selanjutnya Bongkar Siregar menjual tanah tersebut kepada Khairuddin Nasution tahun 2009. Khairuddin menguasai tanah dari 2009 hingga 2014 atau selama 5 tahun, juga tanpa klaim dari pihak lain.

Selanjutnya, Khairuddin Nasution menjual tanah tersebut kepada Hapsyah Sri Mei Siregar tahun 2014. Sejak itu, Hapsyah Sri Mei Siregar menguasai tanah tersebut sejak 2014 hingga 2020 atau selama 6 tahun.

“Kalau ditambahkan 1965 sampe 2020, artinya tanah ini 55 tahun sudah dikuasai 3 orang. Namun tahun 2020, ada tiga orang kakak beradik inisial SH, MH dan inisial HH menunjukan 1 potong surat tahun 1936 yang katanya zaman Belanda pemiliknya warga Tionghoa,” jelas Sulaiman.

Dengan adanya klaim tersebut, ujar Sulaiman, Polres Padangsidimpuan perlu mengusut asal-usul surat yang digunakan terlapor untuk mengklaim, menguasai dan membagi-bagikan tanah klientnya seluas 3.700 meter di Padang Saloka.

“Ini dasar kami datang ke Polres Padangsidimpuan. Kami berharap atensi Kapolres untuk memberikan kepastian hukum kepada client kami,” harap Sulaiman.

Sulaiman juga ingin memastikan, apakah atensi dan instruksi Mabes Polri terkait pemberantasan mafia tanah menjadi perhatian serius jajaran dibawahnya atau sekaldar slogan semata.

“Sampai tidak dari mabes Polri sampai ke bawahannya,” tutup Sulaiman. (Fik/Rahmat Khairul Daulay)

Pos terkait