Mahfud MD: Demokrasi yang Berkembang di Indonesia Serba Salah

Menko Polkam
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD
Menko Polkam
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD


JAKARTA | kliksumut.com – Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pelaksanaan demokrasi di Indonesia membuat ruang publik menjadi riuh dengan berbagai kontroversi. Hal tersebut juga membuat semua kebijakan yang diambil pemerintah selalu dinilai salah oleh kelompok-kelompok di masyarakat.

Melansir dari voaindonesia.com bahwa menurutnya, jika tidak mampu dikelola secara baik dan diiringi upaya integrasi dari pemerintah ke masyarakat maka kondisi ini dapat menimbulkan perpecahan.

Baca juga : Mahfud MD Ditujuk Presiden Gantikan Tito Karnavian Sementara

“Ketika pemerintah melakukan sesuatu, salah sama yang satunya. Tapi ketika ikut pendapat yang menyatakan salah, disalahkan lagi oleh yang satunya. Itu sebagai akibat dari demokrasi,” jelas Mahfud dalam diskusi daring, Jumat (4/9).

Mahfud menambahkan sejumlah negara demokrasi mengalami kegagalan dalam mengelola demokrasi dan integrasi. Akibatnya timbul perpecahan seperti Pakistan yang memisahkan diri dari India dan Bangladesh yang memisahkan diri dari Pakistan. Selain itu, kata dia, di sejumlah negara lain, perpecahan ini juga membuat militer melakukan kudeta dengan alasan menyelamatkan persatuan negara.

“Kita beruntung negara Indonesia terhindar atau bisa menghindari kudeta militer dengan alasan menyelematkan negara. Tapi kita juga terhindar dari perpecahan dari bagian-bagian negara atas nama ikatan primordial,” tambah Mahfud.

Kendati demikian, Mahfud mengatakan pemerintah tetap berkomitmen menerapkan sistem demokrasi yang dinilai masih baik dibandingkan sistem lainnya.

Di samping itu, para pendiri bangsa juga telah membahas secara mendalam tentang berbagai macam sistem pemerintahan menjelang berdirinya Republik Indonesia. Hingga kemudian, disepakati sistem demokrasi dari berbagai opsi sistem pemerintahan lainnya seperti kerajaan.

“Jadi kita berdemokrasi juga berdiskusi secara panjang melalui pemikiran yang dalam. Mana baiknya dan bagaimana seharusnya ini dilakukan.”

Demokrasi Mulai Bergeser?

Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola menilai sistem pemerintahan di Indonesia mulai bergeser dari demokrasi menuju otoritarianisme.

Hal tersebut terlihat dari sejumlah undang-undang yang telah dan akan direvisi pemerintah bersama pemerintah yang lebih berpihak kepada kepentingan golongan. Antara lain mulai dari pengesahan UU KPK, hingga revisi RUU KUHP, omnibus law RUU Cipta Kerja, serta rencana revisi UU Mahkamah Konstitusi dan UU Bank Indonesia.

“Presiden Jokowi untuk menggambarkan gebrakannya. Itu saya pakai metafora, dia ingin jalan tol dimana-mana. Artinya tanpa hambatan, suatu pembangunan ekonomi yang konkret yang tidak terhalang berbagai undang-undang, ditangkap KPK, moneter dan MK yang ingin judicial review,” jelas Thamrin.

MAFINDO Soroti Maraknya Hoaks

Sementara itu Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Anita Wahid menyoroti penggunaan informasi bohong atau hoaks dalam ruang publik di digital pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Hal ini membuat masyarakat menjadi terbelah karena mendukung pasangan calon masing-masing.

Di samping itu, ia juga mengkritik manipulasi informasi di ruang publik digital yang membuat diskusi antar masyarakat menjadi tidak sehat. Apalagi, kata dia, banyak akun robot yang digunakan pihak tertentu sehingga membuat suara publik menjadi tergeser.

Para petinggi VOA & para pakar dalam diskusi membahas dampak perkembangan media digital pada demokrasi di Indonesia, di kantor VOA, Rabu (16/10).

“Akun robot, palsu ini masalah sekali karena bukan manusia. Tapi dibuat seakan-akan ini adalah orang dengan individu tertentu, jumlah tertentu yang seakan mendukung posisi tertentu. Sehingga terlihat volume dukungannya besar, padahal hanya ilusi,” jelas Anita Wahid.

Baca juga : Menkopolhukam : Tak Boleh Ada Sejengkal Tanah Bisa Lepas Dari Kedaulatan NKRI

Anita juga menyoroti serangan digital yang dialami masyarakat sipil dan media yang kerap menyampaikan kritik ke pemerintah, termasuk di antaranya penanganan terhadap Covid-19. Serangan tersebut antara lain berupa peretasan dan doxing atau penyebaran identitas korban untuk tujuan negatif. (voaindonesia.com)

Pos terkait