Badko HMI Sebut Polisi Tak Tegas Soal Keracunan di SMGP

Ketua Badko HMI Sumut, Abdul Rahman
Ketua Badko HMI Sumut, Abdul Rahman (istimewa)

MEDAN | Kliksumut.com – Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumatera Utara, menilai Polisi tidak tegas dalam menangani kasus kebocoran gas di sumur panas bumi PT Sorik Marapi Gheotermal Power (SMGP) di Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Penilaian itu didasarkan pada hasil penyelidikan yang belum menghasilkan tersangka. Padahal telah banyak korban keracunan akibat kebocoran itu.

Bacaan Lainnya

Ketua Badko HMI Sumut, Abdul Rahman, mengatakan penanganan kasus kebocoran gas PT SMGP sampai hari ini tidak menemui titik terang. Padahal berdasarkan catatan Badko HMI Sumut, sejak Januari 2021, sebanyak 220 orang menjadi korban keracunan gas. Bahkan 5 orang telah meregang nyawa akibat keracunan gas tersebut.

Kebocoran gas pertama kali terjadi pada tanggal 25 Januari 2021. Akibatnya 54 orang mengalami korban keracuanan dan 5 orang di antaranya meninggal dunia. Kemudian pada tanggal 6 Maret 2022 kebocoran gas menyebabkan sebanyak 58 orang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.

BACA JUGA: HMI Kota Medan: Slogan Presisi Kebanggan Polri, Akankah Hancurkan Ditangan Oknum Sendiri?

Pada tanggal 24 April 2022 kebocoran gas kembali terjadi, akibatnya 21 orang mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Lalu pada tanggal 16 September 2022 kebocoran gas menyebabkan 8 orang mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Terakhir pada tanggal 27 September 2022 kebocoran gas kembali terjadi untuk kali keenam akibatnya 79 orang kembali harus mendapatkan perawatan di rumah sakit,

“Kami menilai Polisi enggak tegas dalam persoalan ini. Sampai saat ini belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal ini jelas tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),” kata Abdul, Senin (17/10/2022)

“Kita menduga terhadap peristiwa ini ada pembiaran, dan ini bukan lagi suatu kelalaian sebab kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Polda Sumut harus menindak tegas, agar masyarakat mendapatkan keadilan,” tambahnya.

 

KETENTUAN YANG DILANGGAR

Abdul menyebutkan dalam peristiwa kebocoran gas yang menyebabkan keracunan itu setidaknya telah melanggar 2 pasal dalam UU PPLH. Yakni Pasal 98 Ayat (1) sampai (3) jo Pasal 99 Ayat (1) sampai (3) UU PPLH.

Dalam ketentuan itu, disebutkan bahwa setiap orang yang sengaja atau akibat kelalaian terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dapat dikenakan sanksi pidana.

“Kita mengecam PT SMGP dan meminta agar ditindak tegas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tidak ada yang kebal hukum. Sehingga kita berharap kedepannya tidak ada lagi korban jiwa akibat aktivitas PT SMGP,” tutupnya.

Senada dengan hal di atas, Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum UISU Panca Sarjana Putra menyoroti dari segi hukum pidana bahwa peristiwa kebocoran gas PT SMGP merupakan suatu tindak pidana lingkungan yang dilakukan korporasi.

BACA JUGA: Pengeboran PT SMGP Kembali Dihentikan Sementara

“Melihat kejadian yang sudah beberapa kali terjadi dan menelan banyak korban, diduga peristiwa itu merupakan kelalaian atau culpa yang dilakukan pihak PT SMGP. Dalam hukum pidana kita mengenal asas dualitas dimana dari peristiwa itu dapat dilihat ada perbuatan yang dilakukan dan harus ada pertanggungjawaban,” paparnya.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UISU itu juga menerangkan, di sisi lain, hukum pidana juga mengenal Asas Vicarious Liablity yang mengedepankan pertanggungjawaban atas kesalahan orang lain, dimana kesalahan yang dilakukan masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.

 

TANGGUNJAWAB SMGP

Hal ini mengingat betapapun kebocoran gas PT SMGP terjadi akibat dari kelalaian pekerja, akan tetapi PT SMGP sebagai perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha pengelolaan panas bumi harus bertanggungjawab atas jatuhnya korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang terjadi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 116 UU PPLH.

Panca menambahkan, tidak hanya korporasi, kebocoran gas yang terus berulang juga menunjukkan kurangnya pengawasan yang dilakukan. Baik oleh kementerian terkait, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Sehingga pihak-pihak terkait harus juga dimintai pertanggungjawaban atas kurangnya pengawasan yang dilakukan. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 112 UU PPLH.

“Kita berharap, Aparat Penegak Hukum harus proaktif untuk menindak, memproses dan memeriksa tindak pidana lingkungan yang dilakukan PT SMGP. Bila perlu kementerian terkait memanggil Pimpinan PT SMGP. Tidak hanya tindakan preventif tapi harus represif mengingat sudah banyak korban,” pungkasnya.

[AS]

 

Pos terkait