Pemilu 2024
Titi melihat pemilu 2024 memang dirancang dengan persiapan yang merujuk sistem proporsional terbuka. Dia mencontohkan pengetatan partai politik menjadi peserta pemilu yang menjadi salah satu jalan tengah yang dipilih oleh pembentuk undang-undang untuk beradaptasi dengan sistem proporsional terbuka.
Kalau di tengah jalan berubah menjadi sistem proporsional tertutup, maka sama saja membatasi akses pemilih pada pilihan-pilihan politik yang langsung merefleksikan kehendak mereka. Juga akan mengubah banyak hal, termasuk keadilan kompetisi, perilaku kompetisi, dan elemen-elemen teknis lainnya.
Menurutnya, gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menentukan sistem pemilu yang harus dipakai Indonesia sama saja dengan meminta lembaga tinggi negara tersebut mengambil peran sebagai pembentuk undang-undang. Mahkamah Konstitusi, ujarnya, bisa menginstruksikan agar pilihan sistem pemilu yang diambil bisa meminimalisir efek-efek negatifnya.
Dari sembilan partai yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan sistem proporsional terbuka yang mulai diterapkan dalam Pemilu 2004 membawa dampak liberalisasi politik.
“Bagaimana liberalisasi politik mendorong partai-partai menjadi partai elektoral dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara,” ujar Hasto.
Selain itu, lanjut Hasto, sistem pemilu ini juga mendorong proses kaderisasi di internal parpol dan meminimalisir kecurangan pemilu.
BACA JUGA: Jokowi: Masalah Daftar Pemilih Selalu Berulang Setiap Pemilu
Sementara itu Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Demokrat Willy Aditya mengatakan alasan sistem proporsional terbuka dipakai saat ini karena bangsa Indonesia memiliki trauma terhadap sistem proporsional tertutup yang berlaku di zaman Orde Lama dan Orde Baru.
Dia menambahkan dalam sistem proporsional tertutup anggota dewan itu merupakan wakil partai bukan wakil rakyat. Mereka lebih dekat kepada elite partai ketimbang masyarakat.
Willy juga menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka adalah bentuk kemajuan dalam praktik demokrasi.
“Demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang saja,” kata Willy.
Sistem proporsional tertutup pernah digunakan Indonesia pada masa Orde Baru. Namun pada 2008, MK mengabulkan tuntutan pemohon tentang pengujian UU Nomor 10 tahun 2008 yang mengatur tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Putusan MK itulah yang membawa Indonesia kepada sistem proporsional terbuka yang hingga kini masih diterapkan. (VOA)