Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik dan Hukum Positif

Pernikahan Sirri Menurut Fiqih Klasik dan Hukum Positif
Ahmad Fadhly Roza SH MH, Advokat dan Dosen STIH Graha Kirana Medan

Oleh: Ahmad Fadhly Roza SH MH

KLIKSUMUT.COM– Nikah sirri di Indonesia tentu bukanlah sesuatu yang asing lagi. Biasanyanya nikah sirri dilakukan sebab alasan tertentu. Misalnya poligami atau mungkin pernikahannya tidak disetujui orang tua. Jika demikian penulis sedikit membahas bagaimana hukum pernikahan sirri menurut fiqih klasik dan hukum posit

Bacaan Lainnya

1. Nikah Sirri yang dilakukan tanpa adanya wali
Pernikahan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Rasulullah SAW bersabda “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648).

Bahwa akan tetapi ada pendapat Imam hanafi, sah bagi perempuan janda menikah tanpa wali, hal ini sejalah dengan yurisprudensi Hukum Mahkamah Agung RI No. 02 K/AG/1985, Tanggal 25 Juni 1985, Kaidah Hukumnya “Untuk sahnya perkawinan seorang wanita yang telah berumur 24 tahun dan berstatus janda, tidak diperlukan izin orangtua atau wali”.

2. Pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada di bawah wewenang KUA atau disebut juga nikah di bawah tangan
Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi saja hanya tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut: Allah SWT berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS AL-Baqarah (2).

3. Pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi
Pernikahan seperti ini jelas tidak sah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, dari Aisyah bahwa Rasul Allah SAW berkata tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy).

4. Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak diumumkan kekhalayak
Sebagian ulama berkata bahwa melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua mengatakan wajib. Seperti halnya hadis yang artinya “Ceritakan kepada kami atau adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”.(HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama saja, hanya saja tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang.

Bagi kalangan sebagian ahli hukum Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Menurut mereka tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam Pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.

BACA JUGA: Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024: Angin Segar Bagi Demokrasi, Tantangan Baru Bagi KPU dalam Pilkada Serentak 2024

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas.

Alasan dan landasan bagi ahli hukum menyatakan pencatatan nikah wajib, yaitu:
1. Kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi.

2. Pernikahan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng. Mengapa logika sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti mengalami distorsi. Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i.

Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang.

Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada system hukum yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, R.A. “Sesuatu yang hak tanpa nizham (sistem aturan hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham”.

Jika dicermati Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya” dalam Islam semua ulama sepakat bahwa sahnya perkawinan adalah apabila memenuhi syarat dan rukunnya, sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi.

Apa yang diuraikan di atas, justru menguatkan pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri sepanjang sah menurut agama tanpa ada larangan kawin, maka hukumnya sah menurut hukum positif, jika memang tidak sah menurut hukum positif kenapa dibenarkan untuk diajukan itsbat nikah, sepanjang pernikahan tersebut bukan pernikahan poligami, akan tetapi terhadap itsbat pernikahan poligami tidak dibenarkan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

BACA JUGA: Masa Depan Ibu Kota Nusantara: Era Baru Kepemimpinan dan Mimpi Indonesia yang Lebih Maju

Bagian III: Rumusan Hukum Kamar Agama, huruf: Hukum Keluarga, angka 8 merumuskan tentang permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah sirri bahwa “tentang permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah sirri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak, harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sedangkan untuk kepentingan anak hasil poligami dapat diajukan permohonan asal usul anak jo. Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.

Dari uraian-uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa nikah sirri sah menurut fiqih klasik sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi begitu juga menurut hukum positif sepanjang nikah sirri tersebut sah menurut agama maka sah menurut hukum positif sebagaimana Pasal ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahkan pernikahan sirri juga dibenarkan untuk diajukan itsbat, jika memang nikah sirri sebagaimana dimaksud tidak sah secara hukum positif mengapa dibenarkan untuk mengajujkan itsbat tanpa mengulang lagi pernikahan tersebut. Sedangkan pencatatan nikah hanya adminstrasi yang dibuat pemerintahan agar perkawinan tertib dan sebagai bukti, Adapun bagi yang tidak mencatatkan pernikahanya tentu saja memiliki akibat hukum. (KSC)

Penulis: Advokat dan Dosen STIH Graha Kirana Medan

Pos terkait