PB PASU Dukung Arahan Kabareskrim Polri, Terkait Kasus Begal di Polda NTB

Pemprovsu Terima Audiensi PB-PASU di Gubernuran
Eka Putra Zakran, SH MH (EPZA), Ketua Umum (Ketum) PB-PASU beserta jajaran pengurus lainnya yaitu, Abdul Rahman Nst, SH (Sekretaris Jenderal), Chairul Anwar Lubis, SH (Bendahara Umum), Iskandar Chaniago, SH (Waketum Bidang Organisasi dan Pertahanan), Muhammad Yunus (Waketum Bidang Olaheaga), Muhammad Raja, SH (Wasekjen), Budi Setiawa, SH (Wasekjen) dan Hadrian Maulana Putra, SH (Wasekjen) dan Amiruddin Pinem, SH (Direktur LBH PB PASU.

MEDAN | kliksumut.com Ketua Umum Perkumpylan Advokat Sumatera Utara (PB PASU) Eka Putra Zakran, SH MH alias Epza mendukung penuh instruksi atau arahan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Agus Adrianto yang meminta agar kasus korban begal berujung menjadi tersangka di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk dihentikan.

Menurut Epza, arahan Kabareskrim tersebut sangat tepat dan perlu diapresiasi, masalah korban begal dijadikan tersangka, seharusnya korban di apresiasi, karena telah turut serta membantu Polisi dalam melawan dan menangkal pelaku kejahatan.

BACA JUGA: Ketum PB PASU Minta Menteri ESDM Tutup PT. SMGP di Sibanggor Julu

Hal itu dikatakan Epza kepada wartawan di Medan, Jum’at (15/4/2022).

Dikatakan Epza, bahwa langkah korban yang melakukan perlawanan terhadap pelaku sudah tepat, karena dalam rangka membela dan mempertahankan diri dari serangan pelaku kejahatan. Orang yang mempertahankan keselamatan dirinya itu dalam pidana disebut sebagai Noodweer.

“Noodweer atau bela paksa diatur pada Pasal 49 KUHP, yaitu suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dalam upaya membela diri dari ancaman seseorang yang menyangkut harta benda maupun keselamatan diri sendiri maupun orang lain pada waktu yang bersamaan dan dalam keadaan yang sangat terpaksa,” terang Epza.

Jadi ada tiga unsur noodweer ini, sambung Epza, yaitu pertama, harus dilakukan karena terpaksa, kedua adanya keseimbangan antara serangan dengan pembelaan, dan ketiga pembelaan tersebut terjadi pada saat itu juga atau saat serangan itu masih berlangsung.

“Nah, jika dianalisis secara seksama, ketiga unsur tersebut terpenuhi, jadi wajar bila korban harus mempertahankan atau membela paksa terhadap dirinya atas ancaman bahaya dari pelaku kejahatan begal tersebut,” terang Epza.

Epza mengatakan harapan kita kasus begal di NTB ini dan terhadap kasus serupa lainnya, Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini kepolisian agar lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Khususnya kasus korban begal ini harus hati-hati.

Tambah Epza, jika ka polisi tidak hati-hati dalam menetapkan status korban menjadi tersangka, kita khawatir bila terjadi hal serupa masyarakat malah menjadi takut untuk melakukan perlawanan terhadap para pelaku kejahatn begal.

“Jadi menurut kita sudah tepat dan benar arahan Kabareskrim agar Polda NTB menghentikan kasus korban begal jadi tersangka ini. Alasan yang disampaikan Kabareskrim bahwa ada legitimasi masyarat disitu sangat benar itu,” tutur Epza.

“Siapapun saya pikir jika karena alasan noodweer atau bela paksa terhadap dirinya, akan melakuakn perlawanan untuk mempertahan keselamatan dirinya. Gak usah jauh-juah, kita saja pun kalau terjadi hal serupa pada diri kita tak mungkin kita diam, pasti kita akan melawan juga kan. Itu barangkali yang dimaksud legitimasi masyarakat. Artinya dibalik ketentuan pokok KUHP, ada legitimasi masyarakat terhadap suatu pembelaan demi keselamatan diri dari pelaku kejahatan,” sebut Epza.

Lebih jauh Epza menyebutkan terhadap kasus korban begal di Lombok Tengah yang ditetapkan sebagai tersangka karena telah menewaskan begal, penerapan pasalnya oleh polisi tidak tepat.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Jelang Deklarasi, Pengurus PB PASU Bertemu WR III UMA

“Penerapan Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tidak tepat diterapkan kepada korban. Kalau Pasal 49 KUHP, itu yang saya sebut noodweer di atas tadi. Kalau noodweer wajar, namanya orang membela diri atas ancaman pelaku tindak kejahatan. Sebab itu, stop kasus korban begal jadi tersangka ini,” tegas Epza.

Sebagai alternatif penyelesaian kasus ini, kata Epza lagi, Polda NTB diharapkan agar melakukan gelar perkara dengan melibatkan banyak pihak, meliputi tokoh atau pemuka masyarakat, ulama dan termasuk memanggil pihak kejaksaan, sehingga ada formulasi yang tepat untuk menghentikan kasus korban begal jadi tersangka yang terjadi di wilayah hukum Polda NTB ini. (BNL)

Pos terkait