PB PASU Berduka, Minta Gubsu dan Kapolda Selesaikan Masalah 12 IRT Tewas di Madina

MEDAN | kliksumut.com Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Advokat Sumatera Utara (PB PASU) Eka Putra Zakran, SH MH alias Epza) menyampaikan duka yang mendalam dan meminta gubernur serta Kapoldasu turun tangan untuk mengusut tuntas pelaku tambang ilegal yang menyebabkan 12 Ibu Rumah Tangga (IRT) meninggal akibat tertimbung longsor bekas galian tambang ilegal di Desa Bandarlimabung, Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara pada (28/4/2022) yang lalu.

“Berdasarkan informasi yang kita dengar dari media, 12 IRT yang tewas tertimpa longsor bekas galian tambang tersebut diantaranya 9 orang merupakan warga Desa Limabung dan 3 warga lainnya berasal dari Desa Simapang Bajole, Kecamantan Lingga Bayu. Kita sangat berduka atas peristiwa ini,” kata Epza via HP di Pasaman Barat, Sumbar, Sabtu (30/4/2022).

BACA JUGA: Polres Tapteng Gelar Apel Pasukan Ops Ketupat Toba

Menurut Epza, inilah selama ini yang kita khawatirkan melihat marak dan massifnya aktivitas tambang ilegal di Kabupaten Madina. Dampaknya, pasti akan banyak masyakat yang jadi korban. “Nah, inilah contohnya 12 IRT tewas tertimbung longsor. Peristiwa ini sangat memprihatinkan dan menjadi duka mendalam bagi keluarga korban,” tuturnya.

Disamping itu, tambahnya, dilihat dampak dari tambang liar atau tambang ilegal yang marak di Kabupaten madina ini adalah pencemaran berupa rusaknya lingkungan, tercemarnya air sungai Batang Natal yang hingga saat ini kasat mata kita lihat air sungai tersebut setiap hari sudah bercampur dengan limbah tanah galian sehingga tidak layak lagi di pakai, baik untuk mandi, memasak dan lain sebagainya, karena airnya sudah benar-benar rusak dan tercemar.

Sebab itu, sambung Epza, dirinya minta agar Gubsu dan Kapoldasu turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini. Sehingga peristiwa korban tewas akibat tambang ilegal tidak berulang lagi. Bayangkan, tidak sedikit korban, 12 IRT tewas sekaligus dalam satu peristiwa atau kejadian. Jelas ini tidak baik jika tidak dilakukan tindakan tegas bagi para pelaku usaha tambang ilegal.

“Hendaknya Gubsu maupun Kapoldasu dapat menjadikan peristiwa 12 IRT tewas ini sebagai dasar yang kuat untuk memerangi usaha tambang ilegal di Kabupaten Madina. Aktivitas tambang ilegal ini di Madina sudah menahun, jangan ada pembiaran atau jangan sampai ada pihak-pihak yang tutup mata, atau memgambil keuntungan dengan melakukan backup dari belakang dan sebagainya,” papar Epza.

Epza menuturkan, merujuk pada ketentuan UU Pertambangan, yaitu UU No 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara menyatakan bahwa pertambangan sebagai bagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengolahan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kekayaan, konstruksi, pengelolaan, permintaan, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang.

“Kegiatan pertambangan di Indonesia sejatinya dilakukan oleh perusahaan yang telah memiliki izin resmi, akan tetapi dalam praktiknya tidak jarang ada juga perusahaan yang tidak memiliki izin resmi, termasuk masyarakat disekitarnya yang melakukan kegiatan tambang. Hal ini jelas membawa dampak terutama pada aspek pencemaran lingkungan yang tidak terkontrol,” terang Epza.

Kata Epza lagi, dalam UU pertambangan, selain mengenal adanya pertambangan tanpa izin (illegal mining) yang dianggap sebagai suatu tindak pidana, juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya yang sebagian besar ditujukan bagi pelaku usaha dan terdapat pula satu macam tindak pidana yang ditujukan bagi pejabat pembuat izin dibidang pertambangan.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: PB-PASU Bagikan 3 Ton Semangka Kepada Masyarakat

“Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak memiliki izin resmi, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada Pasal 158 UU Pertambangan, berbunyi: Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah),” sebut Epza.

Lebih lanjut Epza mengatakan dalam melaksanakan kegiatan pertambangan diharapkan data-data atau laporan yang dibuat adalah laporan yang benar. Mulai dari studi kelayakan, laporan kegiatan usaha dan laporan penjualan hasil tambang agar hasil tersebut dapat dipertanggung jawabkan.

“Terhadap perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar, maka sanksinya diatur pada Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Bahkan lebih dari itu, pemalsuan terhadap data dibidang pertambangan yang dilakukan pihak pelaku usaha diatur secara khusus dan dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp10.000.000.000 (sepuluh milyar),” tutup Epza. (BNL)

Pos terkait