Kontroversi Sengketa Lahan di Langkat: Dugaan Mafia Tanah dan Surat MA yang Dipalsukan

Kontroversi Sengketa Lahan di Langkat: Dugaan Mafia Tanah dan Surat MA yang Dipalsukan
EKSKUSI: warga 54 tahun yang tinggal lahan garapan seluas 2,756 meter, akhirnya tergusur diketahui lahan tersebut adalah milik ketua Ormas DPD Grib Jaya Provinsi Riau atas nama Irfan Raja Kumala., Surat tahun 1924, SKT nomor 593.07/PP/IV/2012. (Foto: kliksumut.com/Dody Ariandi)

REPORTER: Herman Harahap
EDITOR: Wali

KLIKSUMUT.COM | LANGKAT – Konflik kepemilikan lahan seluas 2.756 meter di Dusun II Cempaka, Desa Paya Perupuk, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, kini memanas. Kasus ini mencuat setelah muncul dugaan pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA), yang memicu kegaduhan di kalangan warga dan menjadi topik panas di media sosial. Lahan yang sebelumnya menjadi tempat tinggal dan lahan garapan warga selama puluhan tahun ini, mendadak diklaim sebagai milik seorang ketua organisasi masyarakat (Ormas) DPD Grib Jaya, Provinsi Riau, Irfan Raja Kumala.

Plang Ormas dan Surat-Surat Kontroversial

Di tengah-tengah perselisihan, sebuah plang yang mengumumkan kepemilikan lahan tersebut oleh Irfan Raja Kumala tiba-tiba muncul, dilengkapi dengan beberapa surat keputusan pengadilan, termasuk SKT dari tahun 2012 dan beberapa putusan pengadilan dari tahun 2019 hingga 2023. Plang tersebut juga memuat peringatan tegas “Dilarang Masuk tanpa izin pemilik yang sah atau kuasa hukum,” yang semakin membuat warga resah.

Kuasa hukum warga, Azhar Limbong, mengungkapkan kejanggalan dalam putusan MA tersebut. “Putusan MA yang digunakan sebagai dasar eksekusi diduga palsu, karena surat kuasa yang diterbitkan untuk eksekusi tanah dikeluarkan setelah penggugat utama, Hamrajul, telah meninggal pada tahun 2020. Hal ini sangat mencurigakan dan tidak masuk akal,” tegas Azhar.

Dugaan Mafia Tanah dan Penolakan Eksekusi

Warga semakin curiga adanya campur tangan mafia tanah dalam kasus ini. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin surat-surat yang diduga dibuat pada tahun 2018 dan 2019 bisa tiba-tiba muncul setelah putusan MA yang kontroversial tersebut keluar. “Ini bukan hanya masalah kepemilikan lahan, tetapi juga mengenai keadilan dan hak warga yang telah menduduki lahan ini selama lebih dari lima dekade,” kata Safril, kuasa hukum lainnya.

Safril juga menyampaikan bahwa warga telah tinggal dan bercocok tanam di lahan tersebut sejak tahun 1976, dengan bukti surat izin garap yang dikeluarkan oleh kepala desa pada masa itu. Namun, surat-surat ini seolah-olah diabaikan dalam proses hukum yang berlangsung.

Protes Warga dan Penundaan Eksekusi

Dalam suasana yang semakin memanas, warga menuntut agar eksekusi ditunda sampai proses Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini sedang berlangsung selesai. Mereka merasa bahwa proses hukum yang berjalan tidak adil dan merugikan pihak yang seharusnya dilindungi.

“Kami tidak menghalangi eksekusi, tapi seharusnya tunggu PK selesai dulu. Bagaimana mungkin kami dipaksa meninggalkan rumah dan lahan yang telah kami rawat selama puluhan tahun tanpa kepastian hukum yang jelas?” ujar Nur Raihan, salah satu warga yang terkena dampak eksekusi.

Kasus ini menjadi cerminan betapa rumitnya masalah sengketa tanah di Indonesia, terutama ketika melibatkan dugaan pemalsuan dokumen dan campur tangan pihak-pihak berkepentingan. Warga Dusun II Cempaka kini menanti kejelasan hukum yang dapat memberikan keadilan bagi mereka yang telah lama menetap di lahan tersebut. Sementara itu, masyarakat luas terus mengamati perkembangan kasus ini dengan penuh perhatian, berharap agar kebenaran segera terungkap. (KSC)

Pos terkait