Keterangan Ahli Ditolak: Sidang Praperadilan Kasus Penculikan 4 Masyarakat Adat Sihaporas Mengguncang

Keterangan Ahli Ditolak: Sidang Praperadilan Kasus Penculikan 4 Masyarakat Adat Sihaporas Mengguncang
Sidang yang digelar hari ini, 16 Agustus 2024, dipenuhi aksi protes dari masyarakat adat, mahasiswa, dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL. (kliksumut.com/ist)

EDITOR: Wali

KLIKSUMUT.COM | MEDAN – Dalam persidangan praperadilan kasus penculikan empat anggota masyarakat adat Sihaporas—Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Parando Tamba, dan Giovani Ambarita—telah terjadi ketegangan yang memanas. Sidang yang berlangsung selama tujuh hari ini akhirnya memasuki tahap pemeriksaan saksi pemohon dan termohon.

Sidang yang digelar hari ini, 16 Agustus 2024, dipenuhi aksi protes dari masyarakat adat, mahasiswa, dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL. Mereka menunjukkan kepedulian dengan orasi dan panggung rakyat, menambah suasana persidangan yang penuh ketegangan.

BACA JUGA: TPL Lakukan Peningkatan Produksi Dengan Penanaman Eucalyptus di Wilayah Tapsel

Dalam kasus ini, pihak pemohon menghadirkan saksi-saksi kunci termasuk Dosmar Ambarita, Nurida Napitu, dan Anita Simanjuntak. Dosmar Ambarita, salah satu korban penculikan yang terjadi pada 22 Juli 2024 dini hari, memberikan kesaksian bahwa ia mengalami kekerasan fisik, termasuk dipukul dan diinjak punggungnya oleh pelaku. Dosmar, yang saat itu kelelahan setelah bertani, sempat ditahan sebelum akhirnya dibebaskan.

Nurida Napitu, istri dari Jonny Ambarita, mengungkapkan kekerasan yang dialaminya bersama kedua anaknya selama penculikan. Dalam kesaksiannya, Nurida menjelaskan bahwa dirinya sempat diborgol dan anak-anaknya mengalami trauma berat, termasuk diperlakukan dengan kasar oleh pelaku. “Saya diinjak punggung saya dan sempat diborgol, anak-anak saya juga diperlakukan dengan sangat kasar,” ungkap Nurida.

Anita Simanjuntak, yang tiba di lokasi setelah dihubungi Nurida, menyaksikan langsung kekacauan yang terjadi. Ia melaporkan bahwa anak-anak Nurida ketakutan dan trauma mendalam setelah melihat tindakan kekerasan terhadap keluarga mereka.

Fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa tidak ada surat panggilan atau dokumen resmi yang diterima oleh tersangka sebelum penangkapan. Hal ini semakin menambah kejanggalan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: TPL Ucapkan Selamat Kepada Ijeck Menjadi Juara Pertama Danau Toba Rally 2023

Namun, keterangan saksi ahli, Prof. Maidin Gultom, Rektor Universitas Katolik St. Thomas Medan, yang dihadirkan oleh pihak termohon, menjadi kontroversi. Prof. Gultom menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat tugas atau surat perintah sesuai Perkapolri No 6 Tahun 2009. Ia menjelaskan bahwa dalam situasi darurat, proses hukum seperti surat pemanggilan tidak selalu diperlukan. Namun, kuasa hukum para korban, Nurleli Sihotang, menilai bahwa alasan darurat yang disampaikan oleh ahli tidak relevan dengan kasus penculikan yang dialami kliennya.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena kekerasan yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang jelas dan penetapan tersangka yang cepat. Masyarakat masih menunggu kepastian hukum dari proses persidangan yang berlangsung dan berharap keadilan dapat ditegakkan untuk korban penculikan ini. (KSC)

Pos terkait