Gen Z: Betulkah Generasi Materialistis Di Tengah Lingkaran Setan “Life Balance” ?

Gen Z: Betulkah Generasi Materialistis Di Tengah Lingkaran Setan "Life Balance" ?
Ilustrasi (https://pexel.com)

Oleh: Maris Stella Sitorus dan Theresa Sisilia Situmorang (Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sumatera Utara)
Prof. Dr. Elisabet Siahaan, SE., MEc (Dosen Pembimbing Matakuliah Perilaku Organisasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara)

kliksumut.com Menurut generation classification theory (GCT) orang atau manusia dapat dikelompokkan kedalam berberapa generasi yang berbeda berdasarkan usianya, seperti; Generasi Baby Boomers dengan tahun kelahiran 1946-1960, generasi yang memiliki peran vital seperti pada saat ini yaitu Generasi Z dengan kelahiran tahun 1995-2010. Generasi Z merupakan generasi yang terpapar teknologi sejak usia dini, yaitu teknologi komputer dan media elektronik lainnya seperti handphone, jaringan internet hingga media sosial. Generasi Z tumbuh dengan jejaring sosial dan mereka telah berorientasi digital dan teknologi sebagai identitasnya.

Bacaan Lainnya

Firamadhina & Krisnani, (2020) menyampaikan generasi Z merupakan penerus generasi milenial dengan ciri khas pola konsumsinya sehigga menjadi perhatian para pemasar dan perusahaan dengan keunikan pola belanjanya. Sekitar 75% Gen Z, dan generasi milenial menggunakan smartphone untuk berbelanja online (Paakkari, 2016). Generasi ini cenderung bergantung pada influencer yang disukainya.

BACA JUGA: Generasi Z dan Dunia Usaha Dinilai Akan Tentukan Arah Bisnis dan Politik 2024

Muncul sebuah pertanyaan, apakah betul gen Z adalah generasi yang materialistis ?, Gen Z dalam teori generasi yang dikemukakan Graeme Codrington dan Sue Grant Marshal adalah generasi yang lahir pada tahun 1997 – 2012, artinya pada saat ini Gen Z adalah mereka yang berusia 11 – 26 tahun. Banyak juga yang menyamakan gen Z dengan generasi milenial. Gregg Witt dan Derek Baird mengulas perbedaan mendasar antara gen Z dengan Milenial melalui riset yang berjudul The Gen Z Frequency, diungkapkan bahwa gen Z memiliki keresahan yang berbeda dengan kaum Milenial, bahkan Gen Z cenderung menunda berbagai tanggung jawab serta peran dari orang dewasa melebihi kaum Milenial.

Gen Z tidak yakin dengan ungkapan time is money maupun hustle culture (kultur kerja keras), tetapi lebih mementingkan life balance (keseimbangan hidup) sebagai jalan menuju suatu kebahagiaan yang ditulis Mclean dalam majalah yang berjudul In Defence of Generation Z. Gen Z mengutamakan kedamaian, ketenangan jiwa, serta kesejahteraan mental, melebihi kesuksesan di bidang akademis maupun kerja, dan tidak heran jika sekarang ini populer ungkapan “healing” di kalangan gen Z.

Ketika mendengar “Milenial” bisa saja terlintas dibenak kita tokoh seperti Mark Zuckerberg. Pendiri Facebook dan generasi milenial yang menempati Top 10 orang terkaya di dunia, dan bisa saja hal inilah yang membuka jalan bagi gen Z diera informasi dan internet seperti sekarang ini dengan gaya hidup yang setiap harinya dikelilingi media sosial dan informasi yang tidak terbatas secara konstan yang berbeda dengan kaum milenial.

Melek Internet: Mendominasi Bisnis dan Finansial
Kemampuan gen Z menyerap informasi membuat dunia mereka menjadi berbeda dengan generasi lainnya, gen Z mengkonsumsi informasi mengenai politik, ekonomi, sosial melalui media sosial dan hal ini mengubah arah ekonomi dunia. Secara demografi, gen Z merupakan konsumen terbesar sepanjang sejarah. Business Insider pada 2022, menyebutkan spending power gen Z diperkirakan mencapai 360 miliar dolar AS. Gen Z menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi kalangan usaha, sehingga muncul influencer untuk menarik konsumen dari kalangan gen Z.

Data di KSEI pada Oktober 2022 menunjukkan demografi pasar modal Indonesia didominasi oleh gen Z yang mencapai 59% investor. Gen Z yang mempunyai akses atas informasi tersebut mengadu nasib di pasar modal dan mereka sukses dalam waktu yang relatif singkat, karena mereka memiliki kelebihan yaitu berani mengambil risik dan kepiawaian dalam menggunakan teknologi. Bagi gen Z yang utama adalah ketenangan jiwa, dan kesejahteraan mental maka sebagian besar dari mereka mendambakan kebebasan finansial, sehingga termotivasi untuk sukses. Aspek finansial menjadi concern penting bagi gen Z.

Survei dari Guardian menyampaika 67% gen Z menjadikan aspek finansial sebagai sumber kekhawatirannya. Dikutip dari Bankrate, 47% gen Z merasa buruk dengan keadaan finansialnya setelah menghabiskan waktu di media sosial. Sosial media mendistorsi kenyataan karena pada media sosial orang-orang muncul dengan penampilan terbaiknya yang cenderung tidak realistis. Seperti lingkaran setan, akibat dimotivasi ketenangan dan kedamaian jiawa banyak gen Z yang akhirnya menghabiskan uangnya untuk kebahagiaan, ketenanga atau yang disebut dengan “healing”. Media sosial juga “memaksa” mereka untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mampu untuk dibeli.

Gen Z lebih Utamakan Work Life Balance: Timbulkan Pengangguran,
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang per Agustus 2023, dan penduduk usia produktif ternyata generasi Z merupakan penyumbang terbesar bagi angka pengangguran di Tanah Air. Generasi Z lebih mengutamakan work life balance saat bekerja, yang menekankan pada kesehatan mental, dan hal ini memicu generasi Z memilih resign daripada work life balancenya terganggu.

Generasi Z lebih mementingkan bagaimana worklife balancenya tetap terjaga, yang dikenal dengan istilah “healing” atau “me time”. Ditengah padatnya pekerjaan yang dihadapi generasi Z, tentu mereka akan mencari celah menjaga work life balance, dan pada zaman sekarang generasi Z lebih menyukai pekerjaan yang fleksibel dan yang bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Work life balance memfokuska diri ada pecapaian keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Konsep ini menekankan pada keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti keluarga, kesehatan, liburan, termasuk pengembangan pribadi.

Namun demikian generasi Z diharapkan mampu memegang kendali atas perilaku, pikiran dan emosinya, agar work life balancenya tidak terganggu. Salah satu hal yang umum dilakukan generasi Z agar kehidupan work life balancenya tidak terganggun adalah dengan menerapkan manajemen stress, dengan menemukan cara untuk mengelola stress akibat tuntutan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari; seperti menonton; drama korea, boyband dan girlgroup korea.

Beberapa pengamat ekonomi, seperti Nailul Huda dari Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menyampaikan salah satu hal yang menyebabka tingginya pengangguran dari kelompok generasi Z adalah terlalu selektif dalam memilih pekerjaan, dan lebih mengutamakan work life balance. Secara sektoral, lanjut Huda, generasi Z lebih memilih bekerja pada sektor yang dekat dengan teknoligi dan industri kreatif, dan pasa sisi lain, sektor ini belum menyerap menyerap tenaga kerja secara optimal. Sesuai dengan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) pada Agustus Tahun 2023, bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta dari total angkatan kerja yang mencapai 147,71 juta orang dan mayoritas didominasi penduduk yang berusaia antara 15-24 tahun dan tergolong dalam generasi Z.

Gen Z dan Perilaku Pembelian Impulsif.
Menurut Waworuntu, dkk (2022) generasi Z merupakan generasi yang lahir pada 1995-2010, generasi ini tumbuh bersama dengan perkembangan internet. Generasi Z menghabiskan lebih kurang 11 jam perhari untuk mengonsumsi konten dari berbagai perangkat (Halim dkk., 2023). Generasi Z terbiasa memeriksa media sosial mereka setidaknya lima kali dalam sehari. Berbagai penelitian menyebutkan generasi ini dikenal materialistis dan cenderung menerima kepuasan instan (Saputri dkk., 2022).

Menurut data IPSOS Global Trend 2021, konsumen Indonesia lebih memilih untuk berbelanja barang/jasa secara online, dengan alasan lebih mudah menemukan penawaran dan rekomendasi terbaik (Nurazizah et al., 2022). Produk fashion merupakan produk paling populer diantara semua kategori produk saat berbelanja melalui e-commerce. Pembelian produk fashion dapat dilakukan melalui sosial media, Tiktok maupun Instagram. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai konsumen yang berperilaku spontan dan tidak terduga, selalu memperhatikan produk yang sedang tren lewat media sosial.

Sebuah studi yang dilakukan di Inggris menyampaikan bahwa konsumen biasa menghabiskan sekitar £200 sebulan untuk berbagai produk, dengan perkiraan pengeluaran seumur hidup hampir £18.393 khusus untuk pakaian. Salah satu produk yang sering dibeli generasi Z adalah pakaian atau fashion karena mudah dibeli dan didapatkan. Generasi Z cenderung membeli produk secara impulsif, untuk berbagai kepentingan dan aktivitas (Halim dkk., 2023). Tereshchenko (2020) mengungkapkan 41% konsumen gen Z sebagai pembeli impulsive, dan hanya 32% pembeli impulsif yang berasal dari generasi X, dan 34% dari generasi milenial.

Pembelian impulsive merupakan kegiatan belanja tanpa perencanaan. Foroughi (2013) menyatakan pembelian impulsive merupakan pembelian tiba-tiba dan tidak terencana yang digambarkan sebagai perilaku pembelian yang dibangkitkan gairah, hedonis kompleks. Nurazizah et al., (2022) menjelaskan pembelian impulsif berkaitan dengan aktivasi emosi, kontrol kognitif rendah.

Peran Orang Tua Meningkatkan Minat Menabung Gen Z
Generasi Z yang merupakan generasi yang lahir di era teknologi memiliki budaya konsumtif yang tinggi (Tari, 2011). Generasi Z dikatakan mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu (multi tasking) dan sellau berhubungan dengan dunia maya. Kondisi ini membuat generasi Z melakukan tindakan konsumtif tanpa memperhatikan skala prioritas.

BACA JUGA: Husen, Eky, Winda, dan Villes akan Kolaborasi Lintas Generasi di 8 Besar Kontes KDI 2023 ‘Sabda Cinta’

Generasi Z penting memahami pengelolaan keuangan yang baik dengan melakukan skala prioritas untuk tindakan konsumsi berdasarkan serta mempertimbangkan untuk menabung atau melakukan investasi. Setiap individu harus dapat menyusun, mengatur, dan mengelola keuangan dengan memperhatikan jumlah uang yang diterima dan disesuaikan dengan pengeluaran untuk kebutuhan dan dan tabungan.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk menabung dan mampu mengatur keuangan individu secara baik adalah orang tua. Peran orangtua sangat kuat dan penting dalam memberikan motivasi bagi anaknya dan sifatnya berkelanjutan sepanjang hidup (Zarit and Eggebeen, 2002).

Peran orang tua terletak pada cara sosialisasi kepada anak tentang pengelolaan keuangan, dan mampu mempengaruhi perilaku menabung masing-masing individu. Penelitian Sirine & Utami (2016), menunjukkan bahwa sosialisasi orang tua dan pengalaman orang tua memberikan pengaruh bagi perilaku menabung anak-anak sekolah. Membudayakan menabung penting diterapkan sejak dini, peran orang tua menjadi penting sebagai proses pendidikan dalam keluarga pada tingkat pertama, dan salah satu upaya untuk mencegah munculnya sifat materialisme.

Terkadang ukuran kesuksesan seseorang diletakkan pada kuantitas dan kualitas barang yang dimilikinya. Sebagian individu terkadang menganggap bahwa uang merupakan sumber kekuatan dan harga diri dan kegiatan belanja merupakan salah satu cara untuk mewujudkan sifat dari materialisme itu sendiri. Nye dan Hillyard (2013) menjelaskan dampak materialisme terhadap perilaku keuangan sebagian dimediasi oleh pembelian impulsif yang artinya konsumen atau seseorang sangat materialistis lebih cenderung untuk terlibat dalam pembelian impulsif dan tidak terencana yang berakibat individu tersebut akan kesulitan untuk menabung.

Hal ini juga di perkuat varibel materialisme pada indikator yang menganggap materi sangat penting dalam kehidupan yang menunjukkan bahwa generasi Z percaya bahwa harta penting bagi kehidupannya. Generasi Z dikatakan cukup materialistis atas dasar bahwa generasi Z masih menggangap materi sebagai sumber kebahagiaan hidup dan merasa bangga ketika bisa membeli barang-barang yang mahal. Generasi Z memandang bahwa ukuran kesuksesan dari sisi materialisme dimana generasi Z menganggap harta adalah lambang kesuksesan.

Perilaku menabung merupakan tindakan seseorang untuk menyisihkan uang untuk digunakan dalam satu waktu periode tertentu. Menabung dianggap sebagai proses menyisihkan uangnya untuk tidak dibelanjakan pada masa yang akan datang. Perilaku menabung adalah kombinasi dari persepsi kebutuhan masa depan, keputusan dan tindakan menabung.

Sosialisasi yang diberikan orang tua terkait dengan dampak positif menabung dan pentingnya membudayakan prilaku menabung menjadi faktor penunjang perilaku anak-anak seperti Gen Z untuk melakukan keputusan menabung, investasi termasuk melakukan konsumsi atas suatu barang dan jasa. Penelitian Sirine dan Utami (2016) juga menyampaikan bwab sosialisasi orang tua secara parsial dan simultan berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku menabung. Bukti empiris penelitian Otto (2009) menunjukkan bahwa orang tua memiliki peran dalam mendorong anak- anak untuk memiliki keterampilan menabung. Memberikan uang saku bulanan merupakan salah satu cara membuat anak memiliki tanggung jawab terhadap uang dan seorang anak tersebut akan mampu melakukan manajemen keuangan yang baik. (**)

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Dosen Pembimbing Matakuliah Perilaku Organisasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Pos terkait