Etnis Rohingya di Perairan Aceh Selatan, Terungkap sebagai Tindak Pidana Perdagangan Manusia

Etnis Rohingya di Perairan Aceh Selatan, Terungkap sebagai Tindak Pidana Perdagangan Manusia
Kabid Humas Polda Aceh Kombes Joko Krisdiyanto sedang mengungkapkan kasus etnis Rohingya yang di Labuhanhaji pada acara Konferensi di Polda Aceh. (kliksumut.com/Dahyati)

REPORTER: Dahyati
EDITOR: Wali

KLIKSUMUT.COM | ACEH SELATAN – Kasus perdagangan manusia kembali terungkap di perairan Aceh Selatan, ketika 150 etnis Rohingya ditemukan terombang-ambing di kapal nelayan sekitar 4 mil dari pantai Labuhan Haji. Investigasi awal mengungkapkan bahwa ini adalah kasus murni tindak pidana perdagangan manusia (TPPM), diperkuat dengan penangkapan tiga pelaku yang diduga terlibat dalam penyelundupan tersebut.

Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, menjelaskan bahwa pengungkapan bermula dari penemuan mayat seorang perempuan di sekitar pelabuhan Labuhan Haji pada 17 Oktober 2024. Keesokan harinya, masyarakat melaporkan keberadaan sebuah kapal yang terlihat terombang-ambing di perairan tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan 150 etnis Rohingya di dalamnya, termasuk tiga korban yang telah meninggal dunia.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Terombang-Ambing di Lautan Aceh Selatan, Pemkab Berikan Bantuan Kemanusiaan kepada Pengungsi Rohingya

“Etnis Rohingya ini diperkirakan berangkat dari Cox’s Bazar menuju Laut Andaman pada awal Oktober, dan tiba di perairan Aceh Selatan setelah dilansir oleh kapal nelayan KM Bintang Raseuki yang dibeli pelaku sebulan lalu seharga Rp580 juta,” ungkap Joko dalam konferensi pers di Polda Aceh, Senin (21/10/2024).

Modus Perdagangan Manusia

Dirreskrimum Polda Aceh, Ade Harianto, menambahkan bahwa penyelundupan tersebut merupakan jaringan terorganisir yang melibatkan nelayan lokal. Kapal milik warga Labuhan Haji digunakan untuk melansir para imigran Rohingya dari Laut Andaman ke perairan Aceh. Para imigran ini membayar sejumlah uang, bahkan ada yang dilaporkan telah berhasil menuju Pekanbaru dengan biaya sebesar Rp20 juta.

“Modus operandi ini jelas memperlihatkan bahwa jaringan nelayan dimanfaatkan untuk melancarkan TPPM. Kami terus mengejar delapan pelaku lain yang masih buron,” tambah Ade.

Sanksi Hukum Berat Menanti

Ketiga pelaku yang telah ditangkap akan dijerat dengan Pasal 120 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, serta sejumlah pasal lain terkait pelayaran tanpa izin, perdagangan manusia, dan pencucian uang. Hukuman yang menanti mereka sangat berat mengingat besarnya skala kejahatan ini.

BACA JUGA: Lagi, Sekitar 400 Orang Rohingya Mendarat di Aceh

“Kami mengimbau masyarakat, khususnya para nelayan, untuk tidak terlibat dalam kegiatan ilegal seperti ini. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tapi juga berisiko tinggi terhadap keselamatan manusia,” tutup Ade.

Saat ini, proses penanganan terhadap para imigran Rohingya akan dikoordinasikan dengan pihak imigrasi, UNHCR, dan organisasi internasional terkait lainnya. Kasus ini menyoroti kembali persoalan perdagangan manusia yang terus menjadi ancaman di perairan Indonesia, khususnya Aceh. (KSC)

Pos terkait