Energi Terbarukan, Solusi Kemandirian Energi Daerah Terpencil

Energi Terbarukan, Solusi Kemandirian Energi Daerah Terpencil
Seorang warga bergegas sebelum hujan turun di ladang turbin angin kecil di Desa Kamanggih di Pulau Sumba yang melistriki desa itu, 19 Maret 2014. (Foto: Romeo Gacad/AFP)

Energi baru dan terbarukan (EBT) dari sumber-sumber lokal bisa dimanfaatkan untuk menyediakan energi secara mandiri bagi masyarakat yang belum terjangkau jaringan listrik PLN. Selain itu, penggunaan EBT bisa jadi solusi melepas ketergantungan masyarakat dari energi fosil yang tidak ramah lingkungan.

SURABAYA, JAWA TIMUR | kliksumut.com Para pakar mengatakan sumber energi terbarukan, seperti matahari atau surya dan jarak pagar (jatropha curcas) bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, seperti pulau-pulau kecil dan terluar.

Guru Besar Universitas Udayana, Bali, Profesor Ida Ayu Giriantari mencontohkan kawasan wisata kepulauan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung yang mulai mengembangkan penyediaan energi listriknya dari matahari yang berlimpah. Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya di Pulau Nusa Penida sebesar 3,5 megawatt.

BACA JUGA: Satgas Rafi Pertamina Pastikan Pasokan dan Distribusi Energi Aman di Sumut

“Melihat dari potensi surya yang ada di sana, dan juga perkembangan harga dari pembangkit listrik tenaga surya itu, yang dalam sepuluh tahun terakhir ini turun sangat drastis, maka ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan di Nusa Penida,” kata Ida.

Kondisi geografis dan ketersediaan sinar matahari yang sangat besar, kata Ida, harus disikapi oleh pemerintah dengan mendorong peningkatan penyediaan listrik dari energi terbarukan ini.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berkat letak Indonesia yang berada di garis Khatulistiwa, potensi surya mencapai 3.294 gigawatts (GW) atau 89 persen dari total potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang mencapai 3.687 GW di Indonesia.

Selain matahari, papar Ida, sumber daya hayati lokal seperti jarak pagar, dapat pula digunakan sebagai sumber energi di pulau-pulau kecil. Misalnya, kondisi alam di kepulauan Nusa Penida, yang berkontur tanah kapur dan cuaca yang cenderung kering, cocok untuk budidaya tanaman itu.

Ida mengatakan bahwa dari studi yang telah dilakukannya, sekitar 20 persen dari total 4.000 hektare lahan di Pulau Nusa Penida yang masih dapat dioptimalkan, bisa ditanami jarak pagar.

Ida berhitung bila sekitar 25 persen dari lahan atau sekitar 1.000 hektare ditanami jarak pagar, satu hektare bisa menghasilkan sekitar antara 540-680 liter biodiesel.

“Jadi sekitar 540.000 liter per harinya untuk di Nusa Penida dari tumbuhan jatropha,” kata konsultan manajemen energi itu.

Jarak pagar adalah sejenis tumbuhan bersemak yang banyak ditemukan di daerah-daerah tropis. Biji jarak mengandung minyak yang jika diolah bisa menjadi minyak biodiesel. Menurut Kementerian ESDM, tantangan pengembangan bahan bakar nabati dari jarak, antara lain harga keekonomian dan kepastian ketersediaan pasokan.

Selain jarak pagar, potensi lokal lainnya di Nusa Penida yang masih perlu dioptimalkan adalah rumput laut. Namun sayangnya, dari sekitar 20.000 hektar lahan atau perairan yang dapat ditanami rumput laut, saat ini hanya tersisa 70 hektare.

Pergeseran orientasi ekonomi masyarakat Nusa Penida ke sektor pariwisata, menjadi faktor utama perubahan fungsi lahan yang dulunya banyak ditanami rumput laut. Padahal, rumput laut sangat potensial dijadikan bioenergi seperti biogas, bioetanol, hingga biodiesel.

Senada dengan Ida, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni Wiyatno, mengatakan Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya energi terbarukan yang dapat menjadikan negara ini mandiri energi dan tidak tergantung energi fosil.

Selain matahari, kata Tri Mumpuni, terdapat energi dari angin, biomassa, hingga aliran air sungai aau mikrohidro, yang dapat dioptimalkan oleh daerah terpencil dan pulau terluar untuk memenuhi sendiri kebutuhan energinya.

“Mikrohidro, biomassa, biofuel, angin, matahari, apa yang semua kita punya itu bisa. Tapi harus benar cara pendekatan dan pembangunannya, itu saja. Kita itu yang kekurangan itu pembangunan manusia, kalau menurutku sih, kalau orang desa dimampukan dia bisa usaha sendiri,” kata Tri Mumpuni.

Tri Mumpuni juga menegaskan kekayaan alam Indonesia yang menjadi modal utama penyediaan energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga harus didukung pendanaan yang memadai oleh pemerintah untuk pengadaan teknologi.

“Menanam tanaman yang growth rate-nya (tingkat pertumbuhan-red) itu tinggi banget, kayak kaliandra merah, misalnya. Itu kan bisa dijadikan pembangkit kalau kita memang mau. Tapi ya memang tidak mudah ya,” kata tokoh yang dikenal getol mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro di desa-desa terpencil.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Bahas Aspek Energi Nasional dan Global, Arcandra Tahar Terbitkan Buku Public Interest in Energy Sector

Pembangunan manusia atau human capital, kata Tri Mumpuni, menjadi kunci penting tercapainya kemandirian energi, khususnya di daerah terpencil dan terluar yang sering dikesampingkan kebutuhan energinya.

“Kalau human capital-nya ok, ya kita lihat saja — Jepang, Singapura, Eropa — itu kan semuanya mandiri. Bisa dibuat sendiri oleh masyarakatnya karena level pengetahuannya, pendidikannya ok,” kata Tri Mumpuni.

Tri Mumpuni, yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menekankan pentingnya mengetahui potensi daerah dan energi yang dimiliki, kebutuhan masyarakat akan energi, serta daya dukung alam dalam menyediakan energi, sebagai syarat utama mewujudkan daerah yang mandiri energi. (VOA)

Pos terkait