“Dia Yang Kering dan Stunting”, Analisis Penyebab Stunting dari Segi Sanitasi

“Dia Yang Kering dan Stunting”, Analisis Penyebab Stunting dari Segi Sanitasi
Penulis : Arvinnia Tanida Harefa
“Dia Yang Kering dan Stunting”, Analisis Penyebab Stunting dari Segi Sanitasi
Penulis : Arvinnia Tanida Harefa


Kliksumut.com – Tentunya kita pernah mendengar beberapa program prioritas pemerintah di bidang kesehatan. Salah satunya adalah kondisi malnutrisi kronik yang kita kenal dengan stunting. Stunting merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan masalah gizi kronis yang dipengaruhi oleh kondisi ibu/calon ibu, janin dan bayi termasuk penyakit selama masa bayi.

Stunting tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan tetapi juga oleh berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang yang diketahui melalui pengukuran panjang atau tinggi badannya. Prevalensi stunting di seluruh dunia pada anak usia <5 tahun berdasarkan data Global Nutrition Report sebesar 23,8% dan Indonesia termasuk dalam 17 negara di antara 117 negara.

Baca juga : Mendagri: Stunting adalah Masalah Bersama

Stunting seolah menjadi momok bagi bangsa kita untuk beberapa tahun belakangan ini, kenapa? Karena kita akan mengalami bonus demografi di tahun 2030. Artinya, mereka yang berusia di bawah 5 tahun sekarang ini akan menginjak usia remaja di tahun tersebut serta usia produktif di tahun 2045 ketika Indonesia mencapai usia 100 tahun. Hal ini harus disiasati dengan intervensi yang dapat menekan kejadian stunting. Tapi, apakah tenaga kesehatan berperan 100% dalam penyelesaian masalah stunting?

Intervensi nutrisi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan, tetapi hanya berkontribusi 30%, sedangkan 70% merupakan kontribusi intervensi nutrisi sensitif yang melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, sanitasi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya.

Intervensi water, sanitatin and hygiene (WASH) adalah suatu upaya yang sangat penting untuk meningkatkan kesehatan pada anak usia dini. Sebuah penelitian observasional yang melihat hubungan antara akses air dan sanitasi menemukan bahwa hal tersebut berhubungan kuat dengan prevalensi diare, mortalitas, dan stunting.

Peningkatan kualitas air, sanitasi dan kebersihan/water, sanitatin and hygine (WASH) sebenarnya sudah menjadi perhatian khusus secara global dalam dekade terakhir. Hal ini mengalami kemajuan yang solid dalam indikator WASH dimana hampir 2 miliar orang mendapatkan akses air dan/atau sanitasi yang lebih baik ketika kita masih mengenal Millennium Development Goals (MDGs). Kekurangan akses air bersih saat itu sekitar 700 juta. Sekitar 2,5 miliar orang tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang lebih baik, dan di antaranya 1 miliar orang masih melakukan buang air besar sembarangan (BABS). Salah satu negara yang masih mengalami masalah tersebut adalah Indonesia.

Mekanisme yang menghubungkan WASH yang buruk dengan stunting pada masa kanak-kanak sangatlah kompleks. Hal tersebut mencakup beberapa rute biologis langsung serta rute yang lebih luas atau kurang langsung. Mekanisme biologis adalah mekanisme utama yang dapat diterima sebagai sesuatu yang menghubungkan WASH dan stunting, dan diikuti mekanisme sosial dan ekonomi.

Stunting tidak mungkin dihilangkan tanpa mengatasi faktor penentu yang mendasari gizi buruk bersamaan dengan defisiensi kuantitas dan kualitas asupan gizi bayi dan anak. Kategori intervensi luas yang menangani faktor penentu yang mendasarinya disebut sebagai intervensi ‘sensitif nutrisi’ dan mencakup WASH tetapi juga hal seperti layanan keluarga berencana, pendidikan ibu dan jaring pengaman sosial. WASH yang buruk akan berpotensi menyebabkan stunting melalui berbagai mekanisme biologis dan sosial ekonomi yang sulit untuk dinilai secara independen.

Pada tingkat kebijakan publik, internasional dan nasional, banyak minat pada WASH dan kurang gizi bermuara pada pertanyaan mendasar yaitu “berapa banyak stunting yang dapat dicegah secara global dengan peningkatan WASH?”. Penelitian yang dilakukan oleh WHO mengkategorikan efek WASH pada kurang gizi sebagai ‘langsung’ yang berarti kematian disebabkan oleh kekurangan energi protein, dan ‘tidak langsung’ yang berarti kematian disebabkan oleh peningkatan kerentanan terhadap penyakit menular sebagai akibat dari kurang gizi. Secara keseluruhan, penelitian ini memperkirakan bahwa sejumlah besar kematian anak (860.000) disebabkan oleh kekurangan gizi mungkin dapat dicegah dengan peningkatan WASH pada tahun 2004.

Tiga mekanisme biologis yang secara langsung berhubungan dengan gizi secara antara lain melalui serangan diare berulang, infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus), dan kondisi subklinis usus yang disebut enteropati tropis, lingkungan atau disfungsi enterik lingkungan/enviorment enteric disfunction (EED). Efek WASH terhadap kekurangan gizi dimediasi oleh paparan patogen enterik dan infeksi simtomatik atau asimptomatik.

Baca juga : Mendagri : Program Pengentasan Kemiskinan dan Stunting Harus Masuk APBD

Frekuensi penyakit diare terlepas dari penyebabnya sangat berkorelasi dengan gangguan pertumbuhan yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara diare dan malnutrisi karena kekurangan gizi dapat meningkatkan kemungkinan dan keparahan penyakit diare. Serangan diare berulang secara kumulatif meningkatkan risiko stunting. Sejumlah patogen diare spesifik yang berhubungan dengan kekurangan gizi antara lain Escherichia coli, Shigella, Giardia dan Cryptosporidium. Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah dapat dicegah dengan sanitasi dan sangat terkait dengan gizi buruk pada masa kanak-kanak. Kasus askariasis dan trikuriasis dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan pada anak. Infeksi cacing tambang selama kehamilan dapat menyebabkan malabsorpsi nutrisi dan anemia ibu yang terkait dengan stunting saat lahir.

Banyak bukti yang menghubungkan infeksi enterik simptomatik dan asimptomatik dengan EED. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada 1960-an dan disebut ‘Enteropati Tropis’ (atau ‘jejunitis’). Pengubahan nama menjadi EED pada 1980-an dan 1990-an mencerminkan hubungan yang semakin besar terhadap peran lingkungan. EED adalah sindrom asimptomatik yang menyebabkan peradangan kronis, berkurangnya penyerapan nutrisi usus dan melemahnya fungsi sawar usus kecil. Kelainan fungsi dan struktur usus ini memiliki konsekuensi besar bagi anak, termasuk defisit pertumbuhan, perkembangan dan fungsi kekebalan tubuh.

Hubungan penting lainnya adalah biaya energi untuk membawa air yang berasal dari jarak yang jauh dari sumber ke rumah. White memperkirakan dari berbagai sumber bahwa rata-rata wanita yang membawa muatan tipikal 20 L di permukaan tanah akan mengkonsumsi sekitar 39 kal/kilogramBB/jam. Pengangkutan air yang dilakukan vendor profesional jauh lebih mahal untuk rumah tangga yang mengkonsumsi. Harga vendor 10-20 kali lebih besar dari harga yang dikenakan oleh PDAM rata-rata sekitar 20% dari pendapatan rumah tangga.

Harga yang mahal tersebut mencerminkan inefisiensi transportasi air dengan teknologi seperti troli tangan, gerobak keledai, jeriken dan ember. Whittington mempelajari opsi terbuka untuk pelanggan vendor di Ukunda, Kenya, dan menemukan bahwa mereka biasanya memilih opsi yang lebih mahal dan hemat waktu hanya jika trade-off menilai waktu mereka lebih dari tingkat upah tidak terampil.

Hal itu tidak secara ekonomis membuat keluarga miskin lebih memilih penjual daripada mengambil air sendiri karena mungkin ada sedikit atau tidak ada pemasukan tambahan dalam anggaran rumah tangga untuk membayar air. Semakin miskin keluarga, semakin sedikit yang tersisa setelah pengeluaran makanan dan semakin besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makanan. Hubungan ini dikenal sebagai Hukum Engel.

Pasokan air mempengaruhi status gizi tidak hanya melalui hubungan metabolik kompleks yang dijelaskan sebelumnya, tetapi juga dengan rute paling langsung yang dapat dibayangkan yaitu mahalnya biaya yang dibayar untuk air yang membuat mereka tidak memiliki cukup dana untuk diet yang memadai. Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa WASH yang buruk membawa risiko kematian akibat diare membuat orang bersedia membayar harga air yang begitu tinggi untuk keselamatannya.

Baca juga : Menkeu : Aliran Dana Desa ke 56 Desa Fiktif Dihentikan

Hal ini menunjukkan bahwa kita tinggal di sebuah negara dengan masalah yang kompleks. Sekarang, mau darimana kita mulai membangun SDM kita untuk menyongsong bonus demografi 2030 dan Indonesia 100 tahun pada 2045? Tentunya ini semua bukan tanggung jawab aku dan kamu, tapi tanggung jawab kita semua. (**)

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata-Penulisan Karya Pengabdian (KKN-PKP) Kode P028 yang dibimbing oleh Dr. Adi Setiawan, S. T., M. T.

Pos terkait