Aktivis Menilik Kebebasan Pers di Ujung Pemerintahan Jokowi

Aktivis Menilik Kebebasan Pers di Ujung Pemerintahan Jokowi
Wartawan nasional mengangkat tangan saat mereka berbaris bersama dengan buruh Indonesia selama rapat umum untuk memperingati May Day di Jakarta, 1 Mei 2007. (Foto: AFP)

Pekerjaan jurnalis di Indonesia masih terus dibayangi oleh kekerasan dan intimitasi. Lantas bagaimana kebebasan pers di Indonesia menjelang lengsernya Presiden Joko Widodo?

KLIKSUMUT.COM Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis masih terus mencoreng cacatan kemerdekaan pers di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir tercatat sederet kasus yang menjadi sorotan, mulai dari pembakaran jurnalis di Kabupaten Karo, kekerasan yang dihadapi 11 jurnalis di beberapa kota saat meliput aksi demonstrasi Kawal Putusan MK, hingga teror terhadap jurnalis Tempo sekaligus pengisi siniar ‘Bocor Alus Politik’.

Kondisi itu seakan mengamini posisi Indonesia dalam indeks kebebasan pers dunia yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RSF) pada 2024. Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, menilai kondisi kemerdekaan pers selama pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih buruk sejak awal menjabat sebagai kepala negara.

BACA JUGA: Aktivis Media Tuntut Netanyahu Tanggung Jawab atas Kematian Wartawan di Gaza

“Kondisinya tidak banyak terlalu berubah dari awal masa pemerintahan Jokowi sampai sekarang. Memang tidak berubah,” katanya kepada VOA yang dilansir kliksumut.com, Senin (9/9/2024).

Nani menjelaskan selama pemerintahan Jokowi banyak aturan hukum yang cenderung merugikan jurnalis, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan draf RUU Penyiaran.

“Posisi kita juga belum berubah banget, bukan hanya kekerasan, tapi juga banyaknya undang-undang yang bisa dibilang cenderung rentan terhadap jurnalis saat menjalankan tugas-tugasnya seperti UU ITE, draf RUU Penyiaran, beberapa tahun ke depan kemungkinan KUHP akan berlaku dan ada 11 pasal yang dinilai bakal memberangus jurnalis,” jelasnya.

Menurut Nani di masa pemerintahan Jokowi juga tidak terlihat ada perbaikan terkait dengan kemerdekaan dan kebebasan pers. Apalagi menjelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi.

“Malah makin parah kalau kita bilang dengan kondisi draf RUU Penyiaran dan UU ITE sempat direvisi tapi hasilnya tidak ada bedanya dengan sebelumnya, tetap saja memberangus kebebasan berekspresi. Jadi tidak ada bedanya kalau menurut saya,” tukasnya.

AJI Indonesia berharap kebebasan pers bisa kembali berpihak kepada jurnalis di masa pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Kita berharap pemerintahan baru itu komitmen terhadap kebebasan pers. Komitmen menjaga kebebasan pers situasinya dibuat lebih kondusif, jurnalis bisa melakukan kerja-kerja jurnalistiknya dengan profesional, jujur, tulus, dan memegang kode etik,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung. Menurutnya kondisi kebebasan pers di Indonesia memburuk selama masa pemerintahan Jokowi.

KKJ mencatat ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2022. Lalu, pada 2023 ada 89 kasus kekerasan dengan 97 jurnalis yang menjadi korban.

“Artinya itu menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis tinggi di masa kepemimpinan Jokowi dan di ujung kekuasaannya,” katanya kepada VOA, Rabu (4/9/2024).

Erick juga menyoroti kebebasan pers di Papua yang bisa dikatakan masih dibelenggu oleh pemerintahan era Jokowi.

Bacaan Lainnya

BACA JUGA: Jurnalis Mahasiswa di Garis Depan Demi Liput Protes Kampus AS

“Apalagi salah satu buktinya di Papua sampai detik ini sejak Jokowi mengatakan akan membuka akses jurnalis asing liputan di Papua pada tahun 2015 sampai sekarang itu hanya omong kosong. Itu tidak pernah terwujud dan tidak pernah direalisasikan oleh Jokowi. Kami melihat tidak ada kebebasan pers di Papua. Itu salah satu gambaran kebebasan pers di Indonesia,” ungkapnya.

Sementara itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, mengatakan ada impunitas kasus kekerasan terhadap jurnalis. Indeks kebebasan pers dunia yang dirilis oleh RSF setidaknya menggambarkan situasi yang terjadi di Indonesia.

“Saya pikir itu cukup menggambarkan situasi saat ini selain kekerasan yang tidak terselesaikan. Ada juga regulasi-regulasi yang selalu bermunculan dan itu berpotensi menghambat kebebasan pers. Itu yang kemudian memperburuk kondisi hukum dan penegakannya,” ujarnya, Rabu (4/9/2024). (VOA)

Pos terkait