80 Kasus Penyiksaan, KontraS Mencatat Setahun Terakhir

80 Kasus Penyiksaan, KontraS Mencatat Setahun Terakhir
Seorang mahasiswa memegang poster saat memprotes RUU Reformasi Tenaga Kerja di Jakarta, 20 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Fatia juga menyoroti hukum positif Indonesia juga belum mengakomodir tindakan penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum. Menurutnya, mayoritas kasus penyiksaan yang dilakukan aparat hanya dijerat tindak pidana penganiayaan biasa. Selain itu, sebagian masyarakat masih mendukung aparat melakukan tindakan penyiksaan dengan motif penghukuman, seperti dalam kasus pelaku begal.

“Hari ini Indonesia masih menerapkan tindakan penyiksaan masuk dalam kategori penyiksaan. Padahal definisi keduanya berbeda sehingga hukumannya ringan atau dimutasi saja,” jelas Fatia.

Bacaan Lainnya

KontraS mendorong institusi yang masih melakukan penyiksaan agar membuka diri untuk evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal. Selain itu, KontraS juga mendorong pemerintah segera merumuskan Undang-undang mengenai praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi.

Baca juga: Penangkapan 14 Mahasiswa Aksi Mayday di Kota Medan, KontraS: Polisi Tangkap Dulu, Baru Cari Deliknya

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan belum mendapat laporan dari KontraS terkait penyiksaan yang menyebut polisi sebagai aktor dominan. Menurutnya, kepolisian perlu mengetahui apa saja yang ada dalam laporan tersebut.

Sementara Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah berkomitmen untuk melakukan pencegahan praktik penyiksaan. Kata dia, komitmen tersebut sejalan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Aturan serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ia menyebut pemerintah juga memastikan langkah penegakan hukum akan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Oleh karenanya, pemerintah menyambut baik laporan maupun kajian seputar pencegahan praktik penyiksaan dari organisasi masyarakat sipil sebagai bentuk upaya perbaikan dalam menjaga ekosistem hak asasi manusia ke depannya,” jelas Jaleswari melalui keterangan tertulis kepada VOA, Sabtu (26/6).

Jaleswari menambahkan langkah preventif terkait praktik penyiksaan juga terus dilakukan melalui upaya pendidikan dan penyuluhan tentang HAM termasuk tentang pencegahan penyiksaan. Antara lain kepada aparat TNI dan Polri, serta Aparat Penegak Hukum dan Aparatur Sipil Negara, baik yang dilakukan oleh kementerian/lembaga, maupun melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil.


Ia menjelaskan sebagai salah satu langkah perbaikan ke depan, pemerintah juga tengah mengkaji beberapa langkah strategis yang dinilai dapat mendukung upaya menghilangkan praktik penyiksaan. Mulai dari kemungkinan pengaturan secara spesifik terkait penyiksaan dalam hukum nasional serta ratifikasi konvensi-konvensi internasional yang memiliki keterkaitan dengan upaya penghapusan praktik penyiksaan. (voaindonesia.com)



Pos terkait