2 Tahun Pasca Disahkan UU Cipta Kerja, Semakin Hilangnya Perlindungan & PHK Massal Menghantui Para Buruh

JAKARTA | kliksumut.com – Di hari buruh Internasional, 1 Mei 2022 pada hari ini kita patut melihat kembali bagaimana Negara ini melaksanakan mandat “Perlindungan” dan “Pemenuhan” hak terkait perburuhan. Meski Undang-Undang Cipta Kerja telah dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”, namun UU Cipta Kerja tetap saja menjadi momok menakutkan bagi para buruh.

Hal dituangkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur melalui keterangan tertulisnya yang di terima, Sabtu, (1/5/2022) yang di dukung oleh LBH Medan, LBH Palembang, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bandung, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua, LBH Jakarta.

BACA JUGA3 Bulan Buka Posko Pengaduan DPO, LBH Medan Miliki Data 62 DPO di Sumut

Bacaan Lainnya

“Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan “Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut,” jelas Muhammad Isnur.

Bahkan Muhammad Isnur juga menjelaskan bahwa hal – hal bersifat strategis dimaksud berdasarkan Pasal 4 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja meliputi “Ketenagakerjaan.” Oleh karenanya, sudah seharusnya Pemerintah tidak melakukan atau tidak membiarkan perusahaan-perusahaan merampas hak-hak buruh dengan menggunakan UU Cipta Kerja.

“Setidaknya, berdasarkan data penanganan kasus ketenagakerjaan yang ditangani oleh 10 LBH Kantor pasca disahkan UU Cipta Kerja, ada banyak kasus perburuhan yang sebagian besar bersifat massal. Misal terdapat korban buruh mencapai 17.633 jiwa dalam 40 kasus dan lebih dari seribu jiwa di antaranya adalah buruh perempuan. Data di atas berasal dari 10 Provinsi, yaitu: Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Yogyakarta, Sumatera Selatan, DKI Jakarta dan Sumatera Utara,” ungkap Muhammad Isnur lagi kepada kliksumut.com.

Sementara itu, dirinya juga mencatat dalam kasus ketenagakerjaan pelaku paling banyak berasal dari perusahaan di bidang jasa, disusul perusahaan manufaktur. Sedangkan pelaku lainnya berasal dari perusahaan perkebunan, pertambangan, transportasi, distributor, konstruksi, pariwisata, bahkan Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.

“Jika ditelisik lebih jauh, permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pandemi Covid-19 yang berkelanjutan dan tanpa penanganan yang berperspektif pada kelompok paling terdampak, diantaranya adalah buruh. Berbagai kebijakan yang justru dikeluarkan oleh Pemerintah selama Pandemi Covid-19 justru tidak berpihak kepada buruh. Kedua, masih berkaitan dengan faktor pertama, kebijakan yang sangat mencekik buruh adalah kehadiran UU Cipta Kerja. Bak diberi jalan bebas hambatan, berbagai pelanggaran yang selama ini dialami oleh buruh dilanggengkan dengan kehadiran UU Cipta Kerja,” sebutnya.

Adapun pelanggaran terbanyak yang termasuk di dalam data 10 LBH kantor terkait UU Cipta Kerja adalah praktik pemutusan hubungan kerja yang dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak tanpa melalui tahapan yang layak. Hal ini telah terjadi sejak sebelumnya adanya UU Cipta Kerja dan UU ini kemudian memberi legalisasi terhadap praktik tersebut.

BACA JUGA: 44 Tahun LBH Medan Tetap Eksis dan Konsisten


“Setelah pengesahan UU Cipta Kerja, jumlah kasus nampaknya tidak terlalu meningkat namun jumlah korban PHK mengalami peningkatan secara signifikan karena dilakukan secara massal. Salah satu masalah mendasar yang mengakibatkan para buruh rentan mengalami PHK yaitu status para buruh yang masih kontrak dan rendahnya pesangon. Di sisi lain, kondisi para buruh hari ini semakin rentan dengan kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga kebutuhan pokok. Karena tidak sebanding dengan peningkatan upah buruh bahkan sebagian buruh yang mengadu pada LBH menerima upah di bawah UMK,” terang Muhammad Isnur miris melihat kondisi sekarang.

Untuk itu, Muhammad Isnur juga mengungkapkan bahwa selain PHK, pelanggaran hak – hak buruh juga terjadi berupa pembayaran THR secara bertahap, buruh dirumahkan tanpa upah, pengurangan upah, pengalihan jenis pekerjaan yang bersifat berkelanjutan namun dikerjakan oleh buruh PKWT, kriminalisasi buruh yang bersikap kritis hingga union busting.

“Dari keseluruhan data penanganan kasus tersebut, sesungguhnya UU Cipta Kerja selama 2 tahun terakhir ini telah meresahkan para buruh, untuk itu kami, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama 10 LBH Kantor dengan ini mendesak, yaitu 1. Pemerintah dan DPR segera membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya; 2. Pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena merupakan upaya melegitimasi inkonsistusionalitas berbagai kebijakan pelanggar HAM, termasuk UU Cipta Kerja; 3. Pemerintah untuk tidak lepas tangan dalam menegakkan hukum perburuhan, dengan meningkatkan pengawasan dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang melanggar. 4. Pemerintah melaksanakan mandat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Berbagai Peraturan perundang-undangan lainnya dimana Pemerintah wajib memenuhi hak asasi manusia,” tuntut Ketua YLBHI Muhammad Isnur lagi, bersama LBH Medan, LBH Palembang, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bandung, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua, LBH Jakarta. (Wali)

Pos terkait